-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Mushaf (19)

Monday, May 31, 2010 | May 31, 2010 WIB Last Updated 2010-05-31T07:52:50Z
Toleransi dari Vipassana Graha
Oleh IBN GHIFARIE
(Artikel ini dimuat pada Forum Kompas Jawa Barat edisi Kamis 27 Mei 2010)

Bertenggernya Pilar Asoka di Vipassana Graha, Jalan Kolonel Masturi Nomor 69, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, merupakan bukti nyata penjabaran ajaran Buddha aliran Theravada atas toleransi yang mulai memudar di Tanah Pasundan ini.

Harus diakui, Pusat Meditasi Buddhis di bawah Yayasan Bandung Sucino Indonesia ini menjunjung tinggi perbedaan, keterbukaan, kemerdekaan, keadilan, dan kesejahteraan sebagai berkah terdalam Waisak 2554 BE/2010 yang jatuh pada 28 Mei 2010.

Adakah pelajaran toleransi dan kerukunan antarumat beragama yang bisa kita petik dari kompleks Vipassana Graha ini?

Pilar Asoka

Vipassana Graha berdiri kokoh di Desa Suka Jaya, Lembang, Bandung Barat, yang berlatar belakang pemandangan pegunungan dan di sisi kanan tampak jelas Gunung Tangkubanparahu.

Kompleks ini terkenal dengan Candi Maha Pancabala (lima kekuatan): pertama, saddha (keyakinan); kedua, viriya (semangat); ketiga, sati (kemampuan mengingat); keempat, samadhi (pemusatan pikiran); dan kelima, panna (kebijaksanaan).

Vipassana Graha berdiri di atas tanah seluas lebih kurang 2 hektar dan memiliki beberapa bangunan penting yang memancarkan sikap keterbukaan, kerukunan, keragaman. Salah satunya, bangunan berbentuk pilar (tugu) yang ditunjukkan untuk mengenang Raja Asoka.

Letak Pilar Asoka tepat di muka sebelah kiri Dhammasala dan sebelah kanan Candi Maha Pancabala. Bila kita melihat secara saksama puncak tugu, akan kita dapatkan empat patung singa, yang di antara punggungnya diletakkan sebuah Roda Dhamma (cakka).

Tentunya, bentuk pilar itu diharapkan menyerupai aslinya sebagai salah satu pilar peninggalan Raja Asoka.

Menurut YM Phra Wongsin Labhiko Mahathera, Ketua Sangha Vipassana Graha, Pilar Asoka merupakan sebuah monumen terpenting di dalam lingkungan Vipassana Graha.

Kejernihan pemikiran dan pandangan seorang Raja Asoka untuk menyejahterakan umat manusia dengan saling mengasihi dan toleransi kehidupan beragama telah berperan serta dalam sejarah perkembangan agama Buddha di dunia, tulisnya dalam setangkai teratai buku Pilar Raja Asoka.

Asoka adalah raja yang selalu meniru segala ajaran sang Buddha dalam kehidupan sehari-hari. Pada masanya Buddha menjadi agama resmi negaranya. Ia juga kaisar terbesar dalam sejarah umat manusia karena menulis “buku” di atas batu-batu sehingga pesan-pesannya dapat diingat manusia sepanjang zaman.

Secara keseluruhan prasasti-prasasti dalam bentuk batu berjumlah 14 buah, pilar 7, dan sejumlah batu kecil yang tersebar diseluruh India, sampai ke Afganistan.

Dengan mencontoh pandangan Gotama tentang toleransi beragama, Asoka membuat dekrit di batu cadas gunung (hingga kini masih dapat dibaca) yang berbunyi “…Janganlah kita menghormati agama kita sendiri dengan mencela agama orang lain. Sebaliknya agama orang lain hendaknya dihormati atas dasar tertentu. Dengan berbuat demikian, kita membantu agama kita sendiri untuk berkembang di samping menunjang pula agama lain. Dengan berbuat sebaliknya, kita akan merugikan agama kita sendiri di samping merugikan agama orang lain. Oleh karena itu, barangsiapa menghormati agamanya sendiri dengan mencela agama lain semata-mata karena dorongan rasa bakti kepada agamanya dengan berpikir “Bagaimana aku dapat memuliakan agamaku sendiri”, maka dengan berbuat demikian ia malah akan amat merugikan agamanya sendiri. Hendaknya toleransi dan kerukunan beragamalah yang dianjurkan dengan pengertian bahwa semua orang selain mendengarkan ajaran agamanya sendiri juga bersedia untuk mendengarkan ajaran agama yang dianut orang lain…” (Rock Edict XII).

Prinsip-prinsip inilah yang dipegang kuat di Vipassana Graha. Mari tengok, saat kebaktian (kegiatan rutin). Pagi, pukul 06.00-06.30, meditasi dan pukul 06.30-07.30 kebaktian pagi. Siang, meditasi pribadi secara bebas. Sore, pukul 18.00-19.00, meditasi dan pukul 19.00-20.00 kebaktian malam.

Kegiatan ini dapat diikuti umat Buddha dan umum (non-Buddha dan nonsekte). Semua umat boleh mengikuti acara yang sewaktu-waktu diadakan Vipassana Graha.

Toleransi

Momentum Waisak 2554 BE di Vipassana Graha diperingati seminggu pasca-detik-detik Waisak (28 Mei 2010) di Candi Borobudur. Sejatinya itu harus menjadi modal utama dalam membangun keharmonisan dialog antaragama sekaligus membawa pesan kedamaian bagi kerukunan hidup beragama di Priangan.

Tentunya, itu tidak dimaknai sebagai peringatan Trisuci Waisak atas kelahiran, pencapaian pencerahan spiritual, dan pencapaian parinibbana (mangkat sempurna) Buddha Gotama.

Pasalnya, umat Buddha meyakini toleransi erat kaitannya dengan paham cinta damai (pasifisme) atau cinta kasih. Ini terekam dalam perjalanan tumbuh sekaligus berkembangnya ajaran Buddha yang tidak pernah menumpahkan darah saat membabarkan dhamma.

Uniknya, dhamma Sang Guru Agung ini mengakui adanya kebenaran di luar ajaran Buddha. Alkisah, di titik ujung perjalanannya di kota kecil Kusinar, kala itu Subhadda, petapa pengembara, mendekati Buddha yang sedang menjelang ajal dan bertanya ihwal kebenaran berbagai ajaran agama yang ada saat itu.

Walhasil, Buddha tidak berkata ajarannya yang paling benar, tetapi malah berkata “Cukup, Subhadda, jangan pikirkan apakah mereka semua, atau tidak seorang pun, atau sebagian dari mereka telah menembus kebenaran. Aku akan mengajarkan Dhamma kepadamu. Dengarkan dan perhatikan baik-baik….”

“Dalam ajaran dan disiplin mana pun, Subhadda, di mana tidak terdapat Jalan Mulia Berunsur Delapan, maka tidak akan mungkin ditemukan para petapa yang telah mencapai kesucian pertama (Sotapanna), kesucian kedua (Sakadagami), kesucian ketiga (Anagami), dan kesucian keempat (Arahat). Tetapi, dalam ajaran dan disiplin mana pun di mana terdapat Jalan Mulia Berunsur Delapan, maka di sana dapat ditemukan para petapa yang telah mencapai kesucian pertama, kedua, ketiga, dan keempat” (Mahaparinibbana Sutta).

Rupanya petuah suci Gotama terus dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari di Vipassana Graha seperti yang ditulis Phra Wongsin Labhiko Mahathera dalam menyambut Waisak, “Ketulusan cinta kasih yang ditunjang dengan sila (kemoralan) dan batin yang terlatih dengan baik dan dikembangkan dengan meditasi akan membawa ketenteraman dan kesejukan dalam kehidupan bermasyarakat yang pada akhirnya akan membuahkan perdamaian.”

Dengan demikian, kehadiran Waisak harus dijadikan momentum untuk berbuat damai. Kiranya, kita perlu mengabarkan pentingnya kedamaian yang ada dalam kumpulan sabda Hyang Buddha “Tenang dalam pikiran. Tenang dalam ucapan. Tenang dalam perbuatan. Ia yang mengerti benar telah terbebas damai dan seimbang” (Pasal 12) dan Kemenangan melahirkan kebencian. Yang kalah hidup menderita. Berbahagialah orang yang hidup penuh kedamaian. Tidak terikat pada menang dan kalah” (Pasal 25).

Inilah pelajaran berharga yang bisa diambil dari Vipassana Graha. Selamat Hari Raya Waisak 2554/2010. Sabbe satta bhavantu sukhitata. Semua mahkluk berbahagia. Sadha, sadha, sadha. Semoga.

IBN GHIFARIE Pegiat Studi Agama-agama dan Pemerhati Kebebasan Beragama
×
Berita Terbaru Update