-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kitab (11)

Tuesday, November 20, 2012 | November 20, 2012 WIB Last Updated 2012-11-20T09:44:06Z

Aksi Menolak Kenaikan Harga BBM, Kemiskinan dan Kekerasan
Oleh IBN GHIFARIE
Artikel ini dimuat pada Opini PelitaOnline edisi 1 April 2012

Maraknya aksi penolakan kenaikan BBM oleh buruh, mahasiswa, guru, ibu rumah tangga yang berujung anarkis, bentrok di sejumlah kota besar (Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, Makasar) menjadi petanda akan kekhawatiran hidup miskin.

Diakui atau tidak kekerasan dalam bentuk apa pun (fisik, mental, langsung, tidak langsung, kekuatan, paksaan, mati) erat kaitanya dengan kemiskinan. Pasalnya, manusia sering dikuasai oleh hasrat ingin menguasai, memiliki, sehingga tindakan saling bersaing, membenci,  kasar, jahat, tak peduli menjadi pemandangan biasa. Sikap ini semakin memperkuat ungkapan Hobbes, manusia  sebagai homo homini lupus.

Ini yang diyakini oleh Tamrin Amal Tomagola. Sosiolog UI itu menyatakan tindakan kekerasan di sejumlah daerah merupakan akibat kemiskinan yang tidak kunjung usai. (PelitaOnline, 18/2)


Kemiskinan
Maraknya aksi penolakan kenaikan BBM oleh buruh, mahasiswa, guru, ibu rumah tangga yang berujung anarkis, bentrok di sejumlah kota besar (Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, Makasar) menjadi petanda akan kekhawatiran hidup miskin. Apalagi mengingat angka kemiskinan di Indonesia kian hari semakin meningkat 18,5 juta jiwa (yang dirilis pemerintah melalui Badan Pusat Statistik)

Rupanya apa yang ditargetkan Agung Laksono, Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat supaya angka kemiskinan menjadi 11,7 persen pada 2012 atau turun dari 2011 yang tercatat 12,36 persen (Antara, 5/1) tidak terbukti, malah kemiskinan semakin meningkat drastis.

Buktinya, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) Kalimantan Tengah (Kalteng), Militan, melansir jumlah penduduk miskin di daerahnya terancam bertambah sebanyak 21,78 persen jika terjadi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Ini terjadi bila kenaikan inflasi yang dipicu oleh kenaikan BBM lebih dari laju pertumbuhan ekonomi (LPE).

Berdasarkan data BPS, angka kemiskinan di Kotawaringin Timur di tahun 2010 besaranya 8,22 persen atau 31.400 jiwa dari jumlah penduduk Kotim sebanyak 381.000 lebih. Pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2011, pihaknya kembali melakukan sensus warga miskin ditambah yang hampir miskin untuk Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS). Hasilnya, 30 persen warga Kotim masuk dalam kelompok tersebut. (PelitaOnline, 20/3)

Kendati kenaikan BBM ditunda (hasil Sidang Paripurna pada hari Sabtu, 31/3) dalam waktu 6 bulan berkat usaha para demonstran. Haruskah setiap pengambilan kebijakan pemerintah diwarnai dengan aksi kekerasan sarana publik, fasilitas umum dan menelam korban puluhan orang yang terkena lula-luka dan menelan kerugian Rp 1,5 Miliar Jasa Marga?

Akar Kekerasan
Ingat, selama manusia berpegangteguh pada watak agresi dan narsis dapat dipastikan kekerasan akan tetap ada. Ini yang diyakini oleh Erich Fromm saat menguraikan  akar kekerasan manusia bersumber dari dalam diri manusia itu sendiri, yang merupakan adonasi antara agresi bawaan manusia yang berlatar belakang adaptif-biologis, dengan destruktivitas dan kekejaman manusia. Agresi lunak diistilahkan reaktif-defensif dan agresi jahat disebut destruktivitas. (Erich Fromm, 2000: 117–253)

Bagi Jack D. Douglas dan Frances Chaput Waksler menyatakan kekerasan sebagai  perilaku, baik terbuka (tertutup), menyerang (bertahan), yang disertai penggunaan kekuatan pada orang lain (Thomas Santoso (ed), 2002; 1)

Tentunya, segala tindakan kekerasan selalu menghasilkan penderitaan. Apakah sesuatu yang tidak baik, atau sama sekali berlawanan  dengan apa yang dikehendaki baik adanya (Johanes Rabini, 1998; 107)

Anehnya, setiap ada tindakan kekerasan (atas nama agama, golongan, suku, kelompok) jarang ditemukan aktor intelektualnya. Malah pemerintah kita sering ribut dan mencari kambing hitamnya.  

Sindhunata yang mengutip pemikiran Rene Girard mengtakan bahwa watak  bangsa Indonesia itu mimetik dan rivalis karena sering berseteru satu sama. Ini membenarkan keyakinan Rene Girard ihwal tatanan masyarakat berasal dari kekerasan, dijamin kelangsungannya dengan kekerasan, dan dipertahankan lewat cara-cara kekerasan pula. Sedemikian rupa kekerasan itu mengawali, menyusup, dan mewarnai masyarakat maupun agama, sampai bisa dikesankan bahwa terjadinya masyarakat, bahkan agama, adalah karena kekerasan itu sendiri.

Kendati dalam perkembangannya pemaknaan kambing hitam telah terjadi penyempitan. Mekanisme kambing hitam justru menjadi semacam pelarian kontra-produktif karena gelagat buruknya selalu menyalahkan pihak lain. Jadi, dengan menjalankan ritus korban, orang-orang mengiyakan  kambing hitam sebagai dalang  tindakan kekerasan. Itulah selimut kekerasan yang juga melingkupi kesucian agama (Sindhunata, 2005:7 dan 173).

Upaya memupus tindakan kekerasan di Bumi Pertiwi ini kiranya kita perlu menindaklanjuti saran dari Hugo Chavez. Menurutnya, ‘bila kita hendak mengentaskan kemiskinan, kita harus berikan kekuasaan, pengetahuan, tanah, kredit, teknologi dan organisasi kepada rakyat.’

Untuk itu, keterlibatan seluruh komponen bangsa, mulai dari pemerintah SBY-Budiono, rakyat, pengusaha, sampai pemuka agama dan kepercayaan sangat dibutuhkan untuk mengentaskan kemiskinan guna menumbuhkembangkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sejahtera, adil, damai. Pasalnya, segala bentuk kemiskinan akan mengantarkan kita kepada pembodohan, ketertinggalan, seperti yang diingatkan, Rasulullah SAW kepada umatnya “Kefakiran mendekatkan pada kekufuran”.  Wallahu Alam

IBN GHIFARIE, Mahasiswa Pascasarjana program Religious Studies UIN SGD Bandung dan Peneliti ARaSS (Academia for Religion and Social Studies) Bandung.

×
Berita Terbaru Update