-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kitab (16)

Tuesday, November 20, 2012 | November 20, 2012 WIB Last Updated 2012-11-20T09:41:38Z
Puasa, Momentum Tepat untuk Melawan Kekerasan
Oleh IBN GHIFARIE
Artikel ini pernah dimuat pada Renungan, inilahkoran edisi 20 Juli 2012

Lepas dari perbedaan pendapat tentang penetapan awal ramadhan 1433 H, momentum Ramadhan harus menjadi kawah candradimuka (madrasah ruhaniyah) yang dapat melahirkan peradaban Islam berbasis keimanan yang kukuh dan tidak menciderai kemanusiaan. Yakni  tidak melakukan perbuatan tak terpuji, kotor, lalim dan berdosa.

Pasalnya, setiap datang bulan suci ini selalu diwarnai dengan aksi kekerasan atas nama agama melelui razia, sweeping, pengrusakan, penghancuran terhadap tamu hotel, gepeng, warung makan, rumah kos, dan segala perbuatan yang dianggap sebagai penyakit masyarakat dengan dalih "hormatilah orang yang berpuasa dan pemuliaan bulan ramadhan"


Ingat, orang yang berpuasa tidak boleh mempunyai pikiran jahat. Orang berpuasa harus menjaga hati dari sifat dengki, hasud, benci tanpa alasan yang dibenarkan syari dan dendam; menatap mata dari pandangan yang dilarang oleh agama.

Seperti pertunjukan yang merangsang hawa nafsu;  menjaga lidah dari perbuatan yang jorok, gibah, tidak mengadu domba (namimah). Jadi pada hakikatnya puasa sebagimana tersirat dalam makna kata dasar ash-shiyam, pengendalian diri (self control).

Hadits Rasululah mengingatkan kepada kita semua, puasa itu bukanlah sekedar menahan diri dari makan dan minum. Sesungguhnya puasa itu merupakan mencegah diri dari segala perbuatan sia-sia serta menjauhi perbuatan yang kotor dan keji (HR. Al-Hakim)

Sejatinya, umat Islam Indonesia harus menjadikan bulan ramadhan itu sebagai kepompong, seperti ulat bulu yang menjadi kupu-kupu indah setelah keluar dari kepompong, maka umat Islam setelah melewati bulan ramadhan idealnya akan menjadi manusi yang lebih indah dari sebelumnya. (Tarmizi Taher, 2007:15-16)

Harus diakui, puasa Ramadhan merupakan refleksi untuk menghidupkan nilai-nilai moral dan etik. Bila kita kuat memaknai puasa ramadhan sebagai wahana mengendalikan diri dari segala bentuk angkara murka, nafsu, keinginan niscaya tidak akan ada lagi upaya menertibkan keyakinan orang lain yang tidak (menjalankan) puasa karena perbedaan kebudayaan dan keagamaan.

Meskipun dalam catatan sejarah pada bulan ramadhan ini terdapat beberapa peristiwa (peperangan) penting bagi umat Islam untuk  menyebarkan risalahnya tanpa kekerasan; Pertama, Perang Badr (17 ramadhan 2 H) yang dimenangkan oleh Muslim. Kedua, Fathu Mekkah (Pembebasan Mekah) (10 ramadhan 8 H) Ketiga, Perang Tabuk. (Ensiklopedi Oxford dan Komaruddin Hidayat etc, 2001:258)

Pentingnya, memerangi hawa nafsu lebih baik daripada berjihad di medan juang, hingga rasul mengingatkan para shabat pascakemenangan perang Badr (17 Ramadhan 2 H).  "Ada sekelompok pasukan datang menghadap Rasulullah SAW setelah berperang, maka nabi bersabda kepada mereka, Kalian baru datang dari kedatangan terbaik, dari jihad kecil menuju jihad besar.” Mereka bertanya, “Apa itu jihad besar?” Beliau menjawab, “Jihad seorang hamba mengendalikan hawa nafsunya.” (Kitab Az-Zuhd: 165, No. 373)

Dalam hadits lain, dari Abu Dzar Rasul bersabda "Jihad yang paling afdhal adalah ketika kamu berjihad mengendalikan diri dan nafsunya untuk Allah 'Azza wa Jalla."

Akar-akar Kekerasan
Mencermati tingginya angka praktik razia, pengrusakan pasca reformasi (1998), yang dilakukan beberapa organisasi dan gerakan atas nama Islam. Hasil penelitian Khamami Zada tentang tumbuh suburnya gerakan Islam radikal di Indonesia diakibatakan; Pertama, masalah internal, carut-marut permasalahan bangsa telah membangkitkan semangat Islam sebagai solusi alternatif. Islam diyakini dapat memberikan jalan keluar dengan jargon kembali kepada islam, atau berlakunya  syariat islam secara kafah.

Kedua, masalah ekternal, bangkitnya islam radikan sangat dipengaruhi oleh Barat dan segala produk sekulernya. Barat secara politik telah membangkitkan kebencian dilakangan umat Islam dengan tuduhan 'Isalm sebagai agama teroris'.

Parahnya,  kekerasan atas nama agama semakin meningkat tiap tahunnya. Dari hasil penelitian Setara Insitute, meskipun sebagian besar warga masyarakat menolak cara-cara kekerasan dalam memperjuangkan agama, mereka menyatakan persetujuanya terhadap aksi-aksi organisasi tertentu yang meberantas aliran sesat dan kemaksiatan (52,1%) dan mereka yang tidak setuju signifikan (41,4%).

Uniknya, di mata masyarakat, tindakan kekerasan dengan mengatasnamakan agam yang dilakukan oleh nak muda, sebagimana yang terjadi belakangan ini bukan merupakan dorongan yang datang atas dasar keyakinan sendiri. Justru dorongan untuk melakukan kekersan itu berasal dari luar diri pelaku. Aktor utama tindakn kekerasan FPI yang mencapai 61,9%; HTI 3,5%; NU 2,6% dan Muhammadiyah 1,9%.

Organisasi-organisasi Islam radikal memeliki empat agenda utama; penegakan Syariat Islam, pemberntasan maksiat, aliran sesat dan anti pemurtadan/anti kristenisasi. (Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos [ed], 2010:82-82 dan 198)

Dengan demikian, kehadiran puasa diharapakn menjadi modal utama untuk pengendalian diri supaya tidak bertindak, berbuat kekerasan dalam menyelesaikan segala persoalan yang melanda bangsa Indonesia.

Kiranya, petuah Rasulullah tentang pentingnya menjaga diri saat shaum perlu kita renungkan secara bersama “Siapa yang tidak meninggalkan ucapan yang kotor dan perbuatan keji, maka Allah tidak punya kepentingan dengan puasa yang dilakukannya” (HR.Nasai-Ibnu Majah)

Inilah makna terdalam dari adanya puasa untuk melawan segala bentuk kekerasan atas nama “pemuliaan bulan ramadhan dan hormatilah orang yang berpuasa". Selamat menjalankan ibadah puasa. Marhaban ya ramadhan.

IBN GHIFARIE, Mahasiswa Pascasarjana UIN SGD Bandung program Religious Studies dan bergiat di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.
×
Berita Terbaru Update