-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kitab (17)

Tuesday, November 20, 2012 | November 20, 2012 WIB Last Updated 2012-11-20T09:41:22Z

Puasa dan Kesinambungan Ajaran Agama-agama
Oleh IBN GHIFARIE
Artikel ini pernah dimuat pada Podium Tribun Jabar edisi 2 Agustus 2012

Membaca tulisan Mamat Muhamad Bajri, M.Ag tentang Puasa, Pencerahan Spiritual dan Sosial pada Tribun Jabar edisi 21 Juli 2012 perlu kita apresiasi dan diskusikan lebih lanjut. Pasalnya, shaum tidak hanya bersifat ritual personal (hablu minallah) semata, tetapi memberikan dimensi kemanusiaan (hablu minnas), mulai dari peduli terhadap fakir, miskin, gerakan perubahan sosial, solidaritas sampai kesinambungan ajaran agama-agama.

Ini dibenarkan oleh Nurcholish Madjid ihwal puasa merupakan salah satu matarantai akan kesinambungan (kontinuitas) ajaran agama-agama. Sebagaimana firman Allah SWT “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa” (QS. Al-Baqarah [2]:183)


Menurut para ahli, shaum adalah salah satu bentuk ibadah yang paling mula-mula serta yang paling luas terbesar di kalangan umat manusia. Bagaimana puasa itu dilakukan,dapat berbeda-beda dari satu umat ke umat yang lain, serta dari satu tempat ke tempat lain. Bentuk puasa yang umum selalu berupa sikap menahan diri dari makan, minum (tertentu), kebutuhan biologis, bicara, bekerja, berperang (angkat senjata). Soal waktu pun sangat beragam mulai dari siang, malam sampai siang dan malam.

Tradisi Puasa
Untuk kaum Sabean (al-shabiun) dan para pengikut Manu (al-manuwiyun) kelompok-kelompok keagamaan di Timur Tengah kuno (Mesopotamia dan Persia) serta Kristen Tmur di Asia Barat dan Mesir menjalankan puasa dengan menghindari jenis makanan dan minuman tertentu. Penahanan diri dari berbicara telah dijalankan oleh Maryam (Bunda Maria) saat terancam, diejek, diusir masyarakat atas kelahiran anaknya (Isa) tanpa ayah. (Nurcholish Madjid 2000:4-6)

Dalam peraktek kehidupan sehari-hari ritual suci ini telah mengakar pada tradisi leluhurnya. Pasalnya, setiap komunitas (kepercayaan, keagamaan) mengajarkan tentang pentingnya cara menahan diri dari segala bentuk keinginan (hawa nafsu, amarah, tamak). Meski bentuk dan waktu pelaksanaanya beragam.

Tengoklah saat Musa berada di gunung Thurisin untuk bertemu Tuhan harus berpuasa selama empat puluh hari; Daud selama hidupnya rela melakukan puasa satu hari dan berbuka satu hari; Shidarta Gautama untuk mencapai Nibbana harus berpuasa bertahun-tahun di bawah pohon Bodi; Mahatma Gandhi hendak mempersatukan umat Islam dan umat Hindu di India yang saling bermusuhan melanda Kalkuta bersedia melakukan puasa sejak 13 Januari 1948 sampai kedua umat beragama itu menyatakan perdamaian New Delhi; Setiap tanggal 1 dan 15 bulan Imlek umat Konghucu disarankan untuk berpuasa (perbuatan harus selaras dengan Watak Sejati). Pun jalan mencapai Dao (Tao) harus berpuasa.

Sejatinya kehadiran shaum ramadhan 1433 H menjadi modal utama untuk meneguhkan kesatuan agama-agama sekaligus membangun solidaritas antaragama yang kian memudar di tatar Sunda?

Mengingat Jawa Barat tingkat kekerasan, perilaku intoleransinya sangat tinggi. Hasil laporan The Wahid Institute mencapai 105 kasus (57%) dan 155 hasil pantauan INCReS dengan rincian 49 kasus pelanggaran dan 106 kasus intoleransi. 

Padahal orang Sunda telah dikenal dengan budaya masyarakatnya yang rukun, ramah, santun, moderat dan toleran dengan adanya falsafah siger tengah. Tentunya sangat menjunjung tinggi prinsip silih asih, silih asah, silih asuh dan kudu akur ka batur salembur dalam menghargai perbedaan pendapat, keyakinan. Ini semua mencerminkan masyarakat Jawa Barat yang santun, hidup rukun, harmonis, saling menjaga, memelihara untuk keberlangsungan hidup secara bersama-sama dengan berpijak kepada khazanah kearifan lokal dalam setiap mengambil tindakan, keputusan.

Bila kita kuat memegang falsafah Sunda dalam menjalankan ibadah puasa ini, niscaya tak ada lagi perilaku kekerasan atas nama agama melelui praktik razia, sweeping, pengrusakan, penghancuran terhadap tamu hotel, seperti yang dilaporkan Setara Institute pada monitoring ramadhan dan praktik kekerasan, sepanjang menjelang dan selama Bulan Ramadhan (2009) menunjukan tingginya tingkat kekerasan. Betapa tidak, selama sebulan periode monitoring, telah terjadi 223 tindakan pelanggaran hak warga negara, baik dengan kekerasan maupun tanpa kekerasan.

Pengendalian Diri
Maraknya tindakan tak terpuji ini diakibatkan kita tidak bisa menjaga, mengendalikan diri dari hawa nafsu untuk menyebarkan risalah dengan cara baik dan terjadinya ruang dialog dalam setiap menyelesaikan persoalan.

Menurut Komaruddin Hidayat, pengendalain diri dari segala bentuk nafsu dan keinginan yang bersifat badani bisa dilakukan dengan berpuasa. Pasalnya, melelui cara ini seseorang diuji secara mental dan ruhani untuk tidak terbuai oleh godaan nafsu duniawi; tidak makan, minum, berhubungan seks di siang hari dan menghindari perkataan kotor dan menjauihi perilaku fasad yang bisa mendatangkan madorot dan dosa.

Walhasil, ketika berpuasa kecenderungan untuk memberontak yang ada dalam jiwa secara bertahap dijinakan dengan cara memasrahkan diri secara sistematis ke arah perintah Allah. Oleh karena itu, hanyalah pribadi-pribadi yang akan berhasil mengendalikan diri sajalah yang mempu menjalani ibadah puasa. (Komaruddin Hidayat etc, 2001: 264 dan 267)

Bagi John L. Esposito menguraikan, momentum ramadhan menjadi waktu yang tepat untuk merenung dan penempaan spiritual; untuk mengekspresikan terimakasih kepada Tuhan atas petunjuk Tuhan dan menghapus dosa yang lalu; untuk menyadarkan kelemahan dan ketergantungan manusia kepada Tuhan; untuk mengingat dan menyantuni kebutuhan kaum miskin dan lapar.

Pada dimensi historis dan komunal dari bulan ramadhan ini terwujud dalam peristiwa-peristiwa yang berlangsung setiap tahun dan sepanjang bulan tersebut. Untuk itu, ramadhan menjadi masa ketika tanggungawab moral sebagai muslim ditentukan. (Ensiklopedi Islam dan John l Esposito, 2004:113)

Rupanya, apa yang dikhawatirkan oleh Rasul tentang pentingnya mengendalikan diri supaya tidak mendapatkan predikat sia-siap dalam berpuasa memang terjadi. Malahan kita sering melanggar aturan shaum ini dan hanya mendapatkan rasa lapar dan dahaga. “Betapa banyak orang yang berpuasa. Namun dia tidak mendapatkan dari puasanya itu, kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR. Nasa'i)

Jaminan lipatan pahala puasa sekaligus mendapatkan balas langsung dari Tuhan kita abaikan “Setiap amalan anak Adam akan dilipatgandakan pahalanya. Satu kebaikan akan berlipat menjadi 10 kebaikan sampai 700 kali lipat. Allah berkata, “Kecuali puasa, Aku yang akan membalas orang yang mengerjakannya, karena dia telah meninggalkan keinginan-keinginan hawa nafsu dan makannya karena Aku.” (HR. Muslim).

Dengan demikian, shaum tidak hanya diartikan sebagai menahan lapar, haus, dan hubungan seks suami istri sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari, tetapi dapat memupus benih-benih kebencian, iri, dengki sekaligus bisa mengendalikan diri untuk menciptakan kehidupan yang damai, rukun, toleran sebagai bentuk kesinambungan ajaran agama-agama. Semoga.

IBN GHIFARIE, Mahasiswa Pascasarjana UIN SGD Bandung Program Religious Studies dan peneliti Academia for Religion and Social Studies (ARaSS) Bandung.

×
Berita Terbaru Update