-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kitab (18)

Tuesday, November 20, 2012 | November 20, 2012 WIB Last Updated 2012-11-20T09:40:58Z
Memupus Fanatisme, Menebar Dialog Antaragama
Oleh IBN GHIFARIe
Artikel ini pernah dimuat pada opini PelitaOnline edisi 31 Agustus 2012

Harus diakui, maraknya tindakan kekerasan atas nama agama dan konflik horizontal di Indonesia pasca lebaran, seperti yang terjadi di Desa Bojong Tipar, Kecamatan Jampangtengah, Sukabumi atas pengakuan Sumarna sebagai pemimpin ajaran Tijaniyah (22/8) yang menghapus Shalat Subuh dan Jumat; kelompok Syiah warga Karang Gayam dan Bluuran, Kecamatan Omben, Sampang (26/8) ini merupakan bukti nyata atas kegagalan pemerintah terhadap warganya dalam memberikan rasa aman, damai, perlindungan, hingga jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan yang telah diatur Undang-undang.

Padahal umat Islam menyakini berkah terdalam dari adanya bulan ramadhan adalah mengendalikan diri dari segala bentuk angkara murka, nafsu, keinginan niscaya tidak akan ada lagi upaya menertibkan keyakinan orang lain dengan cara kekerasan, bukan dengan duduk bersama-sama dan melakukan dialog atas perbedaan pendapat, penafsiran, pemahaman.


Apalagi momentum bulan Syawal harus dijadikan peletak dasar yang utama guna menghidupkan nilai-nilai moral dan etik yang telah digodog selama sebulan penuh supaya bisa memberikan efek positif terhadap perilaku keseharian selama 11 bulan dalam satu tahun ke depan.
Fanatisme
Apa pun alasanya dan siap pun pelakunya, aksi-aksi kekerasan tetaplah merupakan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan yang berbasis keimanan yang kokoh. Pasalnya, setiap tindak kekerasan selalu membuka kesempatan lain untuk melakukan aksi kekerasan balasan. Akibatnya, malah tidak dapat menyelesaikan masalah, justru  kekerasan akan selalu mencipatakn masalah baru.

Di tengah-tengah melemahnya penegakan hukum, ketidaktegasan pemimpin dalam setiap menyelesaikan persoalan menjadi pemicu tumbuh berkembangnya sikap fanatisme yang menjadi penghalang dalam menciptakan sikap toleransi dan kerukunan antarumat beragama.

Untuk kasus Sampang yang kali pertama terjadi konflik keyakinan di Madura kata, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengingatkan kepada kita semua agar pihak-pihak yang bertikai di Sampang, Madura lebih mengedepankan sikap toleransi dalam membangun kehidupan bersama.

Diakuinya, peristiwa yang terjadi di Sampang ini tidak lepas dari sikap fanatisme buta yang masih membelenggu sebagian masyarakat di Sampang. Parahnya, fanatisme ini yang digolongkan buruk, karena dikobarkan oleh emosi.

Penegakan hukum dengan melibatkan penegak keamanan, tokoh agama dan masyarakat harusnya dapat membendung fanatisme ini. Sikap dan prilaku toleransi antar pemeluk agama dan beda keyakinan merupakan inti dari menghargai perbedaan keyakinan beragama yang mesti diatur oleh konstitusi. (PelitaOnline, 29/8)

Di mata Hans Zehetmair, Direktur Hanns Seidel Foundation Jerman menguraikan fanatisme agama merupakan pembunuh nomor satu dialog antaragama karena kaum fanatik tidak mempunyai kemampuan untuk menjalin dialog. Tentunya, sikap ini yang menjadi pemicu atas perselisihan antar umat beragama sebab mereka sangat memegang teguh ajaran agamanya, tidak memperdulikan agama lain dan selalu memaksakan kehendak untuk mengikuti ajaran, pendapatnya yang dianggap paling benar.

Ingat, eratnya sikap fanatisme dalam menciptakan tindakan kekerasan ini tidak dibenarkan agama mana pun, bahkan kekerasan bukan cara terbaik dalam menyelesaikan segala persoalan apa pun.

Dalam pandangan Islam terhadap kekerasan dan terorisme, sikap Gus Dur sangat jelas: mengecam keras dan mengutuk penggunaan kekerasan oleh sejumlah kelompok Islam radikal. Pasalnya, Islam sangat mengajarkan dan menjunjung tinggi hidup tanpa kekerasan.

Menurut Gus Dur, satu-satunya alasan penggunaan kekerasan yang bisa ditolerir oleh Islam adalah jika kaum Muslimin diusir dari tempat tinggal mereka (idza ukhriju min diyarihim). Ini pun masih diperdebatkan oleh sebagian ulama. Misalnya diperdebatkan, bolehkah kaum membunuh orang lain jika jiwanya sendiri tidak terancam? Demikianlah Islam berjalan berabad-abad lamanya tanpa kekerasan, termasuk penyebaran agama tersebut di negeri ini. Alangkah jauh bedanya dengan sikap sementara fundamentalis, teroris muslim di mana-mana dewasa ini. (Abdurrahman Wahid, 2010:xxx dan 370-371)

Dialog
Bagi, Wilfred Cantwell Smith mendarah dagingnya budaya kekerasan antaragama itu, dikarenakan selama ini dialog antaragama dalam rangka kemanusiaan hanya berkutat pada tataran keagamaan yang bersifat positivistik. Apalagi di kalangan Barat.

“Dalam mempelajari agama orang lain, tradisi intelektual Barat merupakan kajian terhadap sesuatu yang impersonal (it). Akhir-akhir ini penelitian itu telah mengalami perubahan berupa personalisasi agama, sehingga bukan lagi berupa kajian terhadap “it” melainkan kajian terhadap “mereka.” Dewasa ini peneliti lebih terlibat secara pribadi, sehingga terjadilah suasana di mana seorang dari “kami” berbicara tentang “mereka.” Jika masing-masing pihak bersedia saling mendengarkan, terciptalah tahapa berikutnya, di mana “kami” berbicara bersama “kamu.” Puncak dari perkembangan ini adalah di saat “kita” semua berbicara tentang “kita.”

Dengan kata, lain tahapan yang harus ditempuhnya; pertama, agama harus diteliti secara impersonal; kedua, personalisasi iman; ketiga, dialog; keempat, dialog antar kita tentang kita.

Untuk itu, kata “religion” yang sering diterjemahkan menjadi 'agama' merupakan salah satu konsep modern yang dibangun atas dasar metodologi yang (substansinya) antiagama. Dengan demikian, Smith sering menggunakan istilah keimanan (faith). Pasalnya, “kita bisa mengatakan iman seseorang adalah makna yang ia dapatkan dari tradisinya … Iman seseorang adalah bagaimana ia memaknai pola hidupnya dalam terang cahaya tradisi masyarakatnya.“

Mengenai dialog antaragama, ia menjelaskan tidak ada ekslusifitas kebenaran dalam suatu agama. Sebagai seorang Kristen yang taat ia berkata “Saya mengingatkan di dalam Kristen tidak ada kebenaran secara absolut, impersonal dan statis; Kristen bisa menjadi benar jika anda atau saya memaknainya secara tepat dalam diri kita dan menghidupkannya dari hari ke hari”

Upaya menciptakan dialog kemanusiaan ini para akademisi harus tampil di garda terdepan untuk membumikan nilai-nilai universal. Proses penyatuan pemahaman tidak bisa terjadi tanpa adanya kesadarna akademisi yang kritis “Kajian akademisi terhadap sesuatu masyarakat agama harus bisa dimengerti secara simultan oleh masyarakat tersebut dan juga oleh masyarakat akademisi, termasuk mereka yang tidak terlibat dalam penelitian itu. Di dalam perbandingan agama tugas seorang intelektual adalah membangun pernyataan yang bisa dimengerti oleh dan masyarakat agama, sebagaimana juga oleh dunia akademisi” (Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur'an, Volume III No 2 Th 1992:98-110)

Kiranya petuah Hans Küng tentang pentingnya dialog antaragama perlu kita renungkan secara bersama-sama dan dorong untuk menciptakan kehidupan berbangsa, bernegara yang lebih damai, toleran, sangat menghargai perpedaan dan tidak melakukan tindakan kekerasan dalam menyelesaiakn segala urusan, termasuk soal perbedaan pendapat, penafsiran, pemahaman, keyakinan dan keagamaan. "Tak ada perdamaian antarbangsa, tanpa perdamaian antaragama Tidak ada perdamaian antaragama, tanpa dialog antaragama."

Semoga segala bentuk kekerasan atas nama apa pun dibumihanguskan dari nusantara dan bisa hidup berdampingan, saling memberi sekalipun berbeda agama dan keyakinan. Mari kita budayakan berdialog.

IBN GHIFARIE, peneliti ARaSS (Academia for Religion and Social Studies) Bandung
×
Berita Terbaru Update