-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Mushaf (2)

Monday, February 03, 2014 | February 03, 2014 WIB Last Updated 2014-02-03T13:05:06Z
Nyepi dan Kepemimpinan “Ahimsa” 
Oleh IBN GHIFARIE
Artikel ini pernah dimuat pada Podium Tribun Jabar edisi 12 Maret 2013


Harus diakui, bentrokan antara penegak hukum (Polisi dengan TNI) di Ogan Komering Ulu di Sumatera Selata, Kamis (7/3) merupakan bukti nyata atas lemahnya penegakan hukum, kesenjangan kesejahteraan, membudayanya balas dendam dan pudarnya kepercayaan masyarakat terhadap penguasa yang diakibatkan dari ketiadaan keteladanan sosok pemimpin. Seakan-akan kekerasan menjadi jalan pamungkas dalam menyelesaikan segala persoalan yang dihadapinya.

Mampukah kehadiran Hari Raya Nyepi (1935 Saka) yang jatuh pada tanggal 12 Maret 2013 tidak hanya merayakan Melasti (pertobatan); Tawur (mengembalikan keseimbangan alam, manusia); Catur Brata Nyepi (empat ritual puasa; Amati geni (tidak menyalakan api); Amati Karya (tidak melakukan pekerjaan sehari-hari); Amati Lelungaan (tidak bepergian); Amati Lelanguan (tidak menghibur diri), tapi dapat menebar sifat kerukunan dan antikekerasan supaya bangsa Indonesia ini bisa keluar dari pelbagai kekerasan dan kejahatan.


Umat Hindu menyakini berkah terdalam dengan adanya peringatan Hari Raya Nyepi adalah menahan diri (introspeksi, penyucian) dari segala tindakan, ucapan dan perbuatan kotor, jahat, yang ada dalam diri kita. Pasalnya, segala bentuk kejahana berawal dari hawa nafsu (ahangkara) dan tempatnya berada dalam indera, pikiran dan kecerdasan, seperti yang termaktub pada  Sloka 3.40  "Indria-indria, pikiran dan kecerdasan adalah tempat duduk hawa nafsu tersebut. Melalui indria-indria, pikiran dan kecerdasan hawa nafsu menutupi pengetahuan sejati makhluk hidup dan membingungkan" (Sri Simad dan Swami Prabhupada, 2000;204 dan 208)

Prosesi Catur Brata Nyepi petanda nyata dari upaya menahan hawa nafsu. Bila kita kuat menguasai ahangkara, maka akan menjadi orang bijaksana dan bersatu dengan Brahman.  Menurut  I Ketut Wiana, dengan dapat menguasai semua hawa nafsunya, ia dapat tetap teguh memusatkan pikiran padaKu dalam yoga. Karena itu ia yang dapat menguasai hawa nafsunya adalah orang yang bijaksana. Kebijaksanaan timbul dari penguasaan hawa nafsu.

Bila dididik dan dilatih, justru nafsu itulah sebagai ujung tombak bagi manusia untuk berbuat baik dan menikmati kehidupan yang bahagia. Ibarat kuda yang terlatih mengendalikan kereta. Kuda yang terlatih dengan baik itulah yang akan membawa seseorang mencapai tujuan yang dicita-citakan. Kalau tidak dilatih dengan sebaik-baiknya, justru kuda itulah yang akan membawa seseorang terjerumus ke dalam jurang penderitaan.

Dalam Sloka itu tidak disebutkan cara membunuh nafsu. Nafsu itu diberikan oleh Tuhan untuk makhluk hidup, termasuk manusia. Jadi, nafsu itu tentu ada gunanya bagi kehidupan manusia. Agar ia berguna dengan baik, latihlah hawa nafsu itu dengan menguatkan kecerdasan intelektual dan kesadaran budhi dengan sinar suci atman yang bersemayam dalam diri setiap orang. Setiap permintaan yang muncul dari nafsu hendaknya dianalisa dengan kecerdasan intelektual dan kesadaran budhi terlebih dahulu. Jangan setiap permintaan dari nafsu itu dipenuhi tanpa analisa.

Di sinilah pentingnya latihan tapa, brata, yoga dan samadhi. Melatih lidah tidak menikmati makanan seenaknya dan bicara seenaknya. Melatih telinga untuk tidak mendengar yang enak-enak saja. Demikian juga mata, hidung, dan lain-lainnya. Nafsu yang dipenuhi terus tanpa analisa, lama kelamaan akan menguasai dan mengatur hidup kita. (Bali Post, 26/4/2009)

Ahimsa

Ingat, sikap saling menghormati, toleransi, bekerjasama bila tidak ditumbuh kembangkan niscaya konflik dan kekerasan yang terjadi di Kasmir, Gujarat akan menimba bumi Pertiwi ini.

Gandhi pionir dalam perjuangan tanpa kekerasan yang menghidupkan dan mengembangkan ajaran Ahimsa pun mengambil prinsipnya dari Bagawad Gita. Di mata I Ketut Widnya, pengajar STAHN Denpasar menjelaskan kata ini adalah salah satu kata yang usianya sangat tua sebagaimana ditemukan dalam Purusha Sukta (Reg Veda) di mana kata dharma digunakan dalam neuter gender: tani dharmani prayamanyasan. Di tempat lain dalam Rg Veda, frase sanata dharmani telah digunakan. Tidak jelas kapan tepatnya kata ini digunakan dalam masculine gender (Balasubramania Iyer, 1989:2).

Shanti Parwa, adhyaya 109, sloka 15, menjelaskan sebagai berikut: Ahimsa atau tanpa kekerasan terhadap seluruh makhluk hidup (bhutanam) adalah dharma, dan apa pun yang berhubungan dengan ahimsa adalah dharma. Sebelumnya dalam sloka 11 juga diuraikan sebagai berikut: ahimsa paramo dharmah, artinya, tanpa kekerasan adalah dharma yang utama.

Pada Wrhaspati Tattwa 25 menjelaskan enam jenis pelaksanaan dharma: Perbuatan mulia (sila), yajna, tapa, dana punya, meninggalkan keluarga dan hidup dari sedekah (prawrajya) dan yoga. (Bali Post 23/6/2003 dan Majalah Syirah edisi No 23/III/Oktober 2003:64-66)

Dalam peraktik kehidupan sehari-hari kita wajib menjalankan sikap ahimsa dan awyawaharika, bila tidak maka akan dikategorikan manusia hina dan terkutuk. Pesan ini termaktub dalam Bhagawadgita, XVI.20, Tuhan mengingatkan kita, “Mereka yang kejam dan pembenci, adalah manusia paling hina di dunia ini, yang Aku campakkan berkali-kali ke dalam kandungan raksasa”

Saking pentingnya mewartakan ahimsa (tidak menyiksa atau membunuh) dan awyawaharika (sikap damai dan tulus), karena perilaku ini merupakan dua dari lima unsur pengendalian diri (panca yama brata; ahimsa, brahmacari, satya, awyawaharika, asteya).

Bagi I Gusti Ngurah Gorda perbuatan ahimsa harus dimulai dari pikiran (manacika) menuju wicara (wacika), dan berakhir pada laku (kayika atau tri kaya parisuda). (I Gusti Ngurah Gorda, 2004:8)

Ahimsa erat kaitannya dengan satyagraha. Meskipun kata Indra Gunawan M, Kedua istilah itu kerap dibaurkan meski sebenarnya ada nuansa perbedaan. Ahimsa lebih merupakan perilaku untuk tak menjalankan atau menghindari tindak kekerasan, terutama terhadap makhluk hidup. Dan, Gandhi menerapkannya, khususnya dalam perjuangan politik

Sementara satyagraha lebih merupakan falsafah dan praktik untuk menjalankan prinsip-prinsip kebenaran. Bukan kebenaran tafsir manusia, melainkan lebih merupakan berserah terhadap kehendak Ilahi. Dalam satyagraha, tujuan dan cara itu adalah satu, keduanya tak boleh berlawanan. Tujuan mulia untuk memuliakan Allah tak boleh menghalalkan segala cara. Dan, salah satu prinsip satyagraha adalah ahimsa. (Kompas, 30/9/2009)

Upaya meminimalisir tindakan kekerasan, konflik, diperlukan keteladanan dari setiap pemuka agama, pejabat pemerintah. Pasalnya, keteladanan dalam menjalankan peribadatan agama dan keteladanan dalam berperilaku di masyarakat merupakan dua dimensi keberagamaan yang harus sejalan.

Kiranya kita harus mendengungkan pesan Mahatma Gandhi saat ditanya apakah menurutnya antikekerasan sungguh-sungguh cara terbaik untuk menyelesaikan konflik. “Tidak” jawabnya. “Antikekerasan bukanlah cara terbaik, melainkan satu-satunya cara” dan mari kita renungkan secara bersama-sama arti cinta dan kasih sayang yang mulai luntur ini. “Cinta tidak pernah meminta, ia sentiasa memberi, cinta membawa penderitaan, tetapi tidak pernah berdendam, tak pernah membalas dendam. Di mana ada cinta di situ ada kehidupan; manakala kebencian membawa kepada kemusnahan.”

Mudah-mudahan segala bentuk kekerasan atas nama apa pun di bumi hanguskan dari Nusantara. Inilah makna terdalam Nyepi dalam mewujudkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara yang harmonis, damai dan sejahtera yang dimulai dari pucuk pimpinan dengan memberikan keteladanan yang baik supaya ditiru oleh masyarakat. Semoga. Selamat Hari Raya Nyepi 1935. Semoga semua makhluk berbahagia.

IBN GHIFARIE, Alumni Program Religious Studies Pascasarjana UIN SGD Bandung dan peneliti Academia for Religion and Social Studies (ARaSS) Bandung.
×
Berita Terbaru Update