Merindukan Sosok Rasul
Oleh IBN GHIFARIE
Artikel ini pernah dimuat pada Opini Galamedia edisi 8 November 2013
Diakui atau tidak, warga negara Indonesia tengah dilanda krisis kepemimpinan, ketiadaan idola, dan teladan yang menjadi panutan masyarakat. Apalagi di kalangan anak muda, sungguh sangat miris. Menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 harus ada pemimpin yang bisa menjadi figur, contoh anak bangsa ini.
Lembaga riset Prapancha Research (PR) merilis nama lima tokoh politik idola anak muda di jejaring sosial selama 10-17 Agustus 2013. Total ada 230 ribu percakapan yang dipantau untuk mengetahui persepsi publik termutakhir soal para politikus. Ada nama Joko Widodo (Jokowi), Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Dahlan Iskan, Gita Wiryawan, dan Mahfud M.D. (Tempo, 20/8/2013).
Spirit Hijrah
Sejatinya, kehadiran 1 Muharam 1435 H yang jatuh pada 5 November 2013 ini harus menjadi momentum awal untuk memberikan keteladanan bagi anak muda, dengan melakukan gerakan mencintai Rasul sebagai pertanda dari usaha menciptakan masyarakat yang beradab, adil, dan damai.
Umat Islam menyakini hijrah tak hanya dimaknai sebagai perpindahan fisik dari satu tempat ke tempat lain, sekadar pergantian tahun. Lebih dari itu, hijrah menuju perubahan nilai ke arah yang lebih baik dengan cara memberikan keteladanan.
Awalnya Nabi Muhammad saw. dapat bertahan hidup bersama para pengikutnya di Mekah (13 tahun). Tapi alasan ketidakadilan, juga keterpurukan, mengetuk Rasulullah untuk pindah (hijrah) ke Yatsrib agar bisa menjalani kehidupan dengan lebih baik sekaligus beradab. Kelak Yatsrib disebut sebagai Al Madinah, sebuah kota yang menjunjung tinggi perabadan dan beradab.
Dengan kuatnya ikhtiar untuk meraih hidup lebih baik itu, terik musim panas (16 Juli 622 M) tak menjadi halangan atau rintangan supaya cepat berhijrah. Sekitar 70 orang pengikut Nabi lebih dulu sampai di Madinah, menyusul Nabi, Abu Bakar, Ali, dan beberapa keluarganya (Montgomery Watt, 2006).
Gerakan besar kaum muslim ke Madinah ini dikenal dengan sebutan hijrah. Arti istilah ini adalah migrasi, namun "menyelamatkan diri" lebih akurat (dalam) menggambarkan situasi yang sangat menyedihkan kala itu atas meninggalnya Siti Khadijah, istri Nabi dan Abu Tholib, paman Rasul.
Peristiwa hijrah sangat penting bagi sejarah kaum muslim, seperti halnya eksodus di Mesir bagi sejarah Israel. Para pembuat penggalan muslim memandang hijrah sejajar artinya dengan kehatangan Isa a.s. dalam agama kristiani. Tahun Hijriah yang disingkat "H" membuat kaum muslim mendapat pilihan selain penanggalan M (Masehi) yang diakui Kristen, sebagai era baru yang dimulai dari kehadiran Isa a.s. Tahun muslim ini mengikuti siklus rembulan.
Nabi Muhammad yang berusia 52 tahun pada 622 (1 H) memimpin kaum muhajirin (emigran) dan anshar (pribumi). Dalam beberapa tahun Rasul telah menjadi penguasa mutlak Madinah. Keputusan pertamanya adalah menetapkan di mana ia akan tinggal tanpa melukai kelompok mana pun. Untuk menghindari terlihatnya unsur kesukuan pribadi, Nabi melepas tali kekang untanya. Setelah berputar-putar dan mengelilingi tempat, akhirnya unta Nabi berhenti dan berlutut. Tempat terbuka di tanah ini dianggap sebagai pilihan Tuhan dan didirikanlah masjid, tempat beribadah, bersujud, tempat memohon umat Islam.
Dalam kondisi ini, rasul mengajarkan kepada umat Islam untuk membuat penyatuan yang menggantikan sentralitas kekeluargaan (klain, suku, marga) dengan ikatan persaudaraan muslim. Kaum muhajirin dan anshar bersama-sama berjuang dengan mereka untuk membentuk satu komunitas (umat) yang tidak mengikutsertakan kaum lain.
Sesungguhnya Islam menjadi satu komunitas (umat) yang lebih inklusif. Dengan solidaritas itu, beban untuk melakukan pembalasan sebagian besar beralih dari kekeluargaan ke kaum seagama. Serangan terhadap seorang muslim berarti kejahatan terhadap Islam (William E. Phipps, 1998).
Teladan Bersama
Upaya menciptakan ikatan persaudaraan bisa dilakukan dengan meneladani sosok Nabi Muhammad saw. dengan cara yang arif dan bijaksana sekaligus mengevaluasi ulang ihwal kecintaan kita kepadanya.
Mari kita berusaha menghadirkan kembali sosok Rasulullah dalam kehidupan kita. Lebih baik lagi kita menggunakan seluruh hidup (tenaga), pikiran, dan kesadaran kita untuk merealisasikan seluruh sikap dan sifat Rasul secara bertahap dengan penuh kesadaran. Daripada menghabiskan waktu membalas menghina, lebih baik mencoba memasukkan hadis ini ke dalam seluruh tindakan. "Allah semakin memperbanyak kenikmatan kepada seseorang karena ia banyak dibutuhkan orang lain. Barang siapa yang enggan memenuhi kebutuhan orang lain, berarti ia telah merelakan lenyapnya kenikmatan bagi dirinya." (HR Al Baihaqi)
Dengan sikap ini, bila Rasulullah benar-benar bertamu kita bisa menyambutnya tanpa rasa malu. Kita akan dipeluknya dengan air mata haru, beliau akan menepuk bahu kita. Ucapannya menyejukkan kalbu, perkataannya jelas, tidak sedikit, juga tidak bertele-tele. Beliau adalah orang yang paling menarik dan kharismatik di antara ketiga sahabatnya. Jika beliau berbicara, maka para sahabat yang menyertainya dengan khusyuk mendengarkan segala nasihat dan mematuhi segala perintahnya. (Bambang Q. Anees, 2009)
Kerinduan untuk menghadirkan kembali ketokohan pada waktu mitos (mythical time) primordial (Hijriah) menjadi pertanda manusia tradisional (homo religious). Ini diyakini oleh Mircea Eliade (1907-1986), pakar studi agama-agama dan fenomenologi saat memotret masyarakat arkais (purba) yang cenderung untuk hidup sebisa mungkin dalam kesakralan dan dekat dengan objek suci dan pusat dunia.
Mudah-mudahan gerkan mencintai Rasul dengan cara meneladani beliau yang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari dapat menjadi bukti nyata atas kerinduan terhadap pemimpin yang menjadi panutan, pribadi paripurna yang kian meredup di bumi Nusantara.
Mari kita ikuti teladan Muhammad yang telah mendapatkan jaminan dari Allah. "Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah" (Q.S. Al Ahzab: 21).
Inilah pelajaran yang kita bisa ambil dari peristwa hijrah yang menempatkan sosok Nabi Muhammad sebagai idola, figur, contoh. Khususnya bagi anak muda yang mulai terkikis identitasnya akibat derasnya modernitas, globalisasi, dan budaya pop. Selamat Tahun Baru Hijriah 1435. []
IBN GHIFARIE, Pengelola Laboratorium Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung.
Dengan sikap ini, bila Rasulullah benar-benar bertamu kita bisa menyambutnya tanpa rasa malu. Kita akan dipeluknya dengan air mata haru, beliau akan menepuk bahu kita. Ucapannya menyejukkan kalbu, perkataannya jelas, tidak sedikit, juga tidak bertele-tele. Beliau adalah orang yang paling menarik dan kharismatik di antara ketiga sahabatnya. Jika beliau berbicara, maka para sahabat yang menyertainya dengan khusyuk mendengarkan segala nasihat dan mematuhi segala perintahnya. (Bambang Q. Anees, 2009)
Kerinduan untuk menghadirkan kembali ketokohan pada waktu mitos (mythical time) primordial (Hijriah) menjadi pertanda manusia tradisional (homo religious). Ini diyakini oleh Mircea Eliade (1907-1986), pakar studi agama-agama dan fenomenologi saat memotret masyarakat arkais (purba) yang cenderung untuk hidup sebisa mungkin dalam kesakralan dan dekat dengan objek suci dan pusat dunia.
Mudah-mudahan gerkan mencintai Rasul dengan cara meneladani beliau yang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari dapat menjadi bukti nyata atas kerinduan terhadap pemimpin yang menjadi panutan, pribadi paripurna yang kian meredup di bumi Nusantara.
Mari kita ikuti teladan Muhammad yang telah mendapatkan jaminan dari Allah. "Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah" (Q.S. Al Ahzab: 21).
Inilah pelajaran yang kita bisa ambil dari peristwa hijrah yang menempatkan sosok Nabi Muhammad sebagai idola, figur, contoh. Khususnya bagi anak muda yang mulai terkikis identitasnya akibat derasnya modernitas, globalisasi, dan budaya pop. Selamat Tahun Baru Hijriah 1435. []
IBN GHIFARIE, Pengelola Laboratorium Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung.