-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Mushaf (5)

Monday, February 03, 2014 | February 03, 2014 WIB Last Updated 2014-02-03T13:15:58Z
Merindukan Sosok Rasul
Oleh IBN GHIFARIE
Artikel ini pernah dimuat pada Opini Galamedia edisi 8 November 2013

Diakui atau tidak, warga negara Indonesia tengah dilanda krisis kepemimpinan, ketia­da­an idola, dan teladan yang menjadi pa­nutan masyarakat. Apalagi di kalangan anak muda, sungguh sangat miris. ­Menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 harus ada pemimpin yang bisa menjadi figur, contoh anak bangsa ini.

Lembaga riset Prapancha Research (PR) merilis nama lima tokoh politik idola anak muda di jejaring sosial selama 10-17 Agustus 2013. Total ada 230 ribu percakapan yang dipantau untuk mengetahui persepsi publik termuta­khir soal para politikus. Ada nama Joko Widodo (Jokowi), Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Dahlan Iskan, Gita Wir­yawan, dan Mahfud M.D. (Tempo, 20/8/2013).


Spirit Hijrah


Sejatinya, kehadiran 1 Muharam 1435 H yang jatuh pada 5 November 2013 ini harus menjadi momentum awal untuk memberikan keteladanan bagi anak mu­da, dengan melakukan gerakan men­cintai Rasul sebagai pertanda dari usaha menciptakan masyarakat yang beradab, adil, dan damai.

Umat Islam menyakini hijrah tak hanya dimaknai sebagai perpindahan fisik dari satu tempat ke tempat lain, sekadar pergantian tahun. Lebih dari itu, hijrah menuju perubahan nilai ke arah yang lebih baik dengan cara memberikan keteladanan.

Awalnya Nabi Muhammad saw. da­pat bertahan hidup bersama para pe­ng­­ikutnya di Mekah (13 tahun). Tapi alas­an ketidakadilan, juga keterpuruk­an, mengetuk Rasulullah untuk pindah (hijrah) ke Yatsrib agar bisa menjalani kehidupan dengan lebih baik se­kaligus beradab. Kelak Yatsrib disebut sebagai Al Madinah, sebuah kota yang menjunjung tinggi perabadan dan beradab.

Dengan kuatnya ikhtiar untuk me­ra­­ih hidup lebih baik itu, terik musim panas (16 Juli 622 M) tak menjadi halangan atau rintangan supaya ce­pat berhijrah. Sekitar 70 orang peng­ikut Nabi lebih dulu sampai di Madinah, menyusul Nabi, Abu Ba­kar, Ali, dan beberapa ke­luarganya (Montgomery Watt, 2006).

Gerakan besar kaum muslim ke Madinah ini dikenal dengan sebutan hijrah. Arti istilah ini adalah migrasi, namun "menyelamatkan diri" lebih akurat (dalam) menggambarkan situasi yang sangat menyedihkan kala itu atas meninggalnya Siti Khadijah, istri Nabi dan Abu Tholib, paman Rasul.

Peristiwa hijrah sangat penting bagi sejarah kaum muslim, seperti halnya eksodus di Mesir bagi sejarah Israel. Para pembuat penggalan muslim memandang hijrah sejajar artinya dengan kehatangan Isa a.s. dalam agama kristiani. Tahun Hijriah yang disingkat "H" membuat kaum muslim mendapat pilihan selain penanggalan M (Masehi) yang diakui Kristen, sebagai era baru yang dimulai dari kehadiran Isa a.s. Tahun muslim ini mengikuti siklus rembulan.

Nabi Muhammad yang berusia 52 tahun pada 622 (1 H) memimpin kaum muhajirin (emigran) dan anshar (pri­bumi). Dalam beberapa tahun Rasul telah menjadi penguasa mutlak Madinah. Keputusan pertamanya adalah me­netapkan di mana ia akan tinggal tanpa melukai kelompok mana pun. Untuk menghindari terlihatnya unsur kesuku­an pribadi, Nabi melepas tali kekang untanya. Setelah berputar-pu­tar dan mengelilingi tempat, akhirnya unta Nabi berhenti dan berlutut. Tempat terbuka di tanah ini dianggap sebagai pilihan Tuhan dan didirikanlah masjid, tempat beribadah, bersujud, tempat memohon umat Islam.

Dalam kondisi ini, rasul mengajarkan kepada umat Islam untuk membuat penyatuan yang menggantikan sentralitas kekeluargaan (klain, su­ku, marga) dengan ikatan persaudaraan muslim. Kaum muhajirin dan anshar bersama-sama berjuang dengan mereka untuk membentuk satu komunitas (umat) yang tidak mengikutsertakan kaum lain.

Sesungguhnya Islam menjadi satu komunitas (umat) yang lebih inklusif. De­ngan solidaritas itu, beban untuk mela­kukan pembalasan sebagian besar beralih dari kekeluargaan ke kaum seagama. Serangan terhadap seorang muslim berarti kejahatan terhadap Islam (William E. Phipps, 1998).

Teladan Bersama


Upaya menciptakan ikatan persauda­raan bisa dilakukan dengan meneladani sosok Nabi Muhammad saw. dengan cara yang arif dan bijaksana sekaligus mengevaluasi ulang ihwal kecintaan kita kepadanya.

Mari kita berusaha menghadirkan kembali sosok Rasulullah dalam kehi­dupan kita. Lebih baik lagi kita menggunakan seluruh hidup (tenaga), pikiran, dan kesadaran kita untuk merea­lisasi­kan seluruh sikap dan sifat Rasul secara bertahap dengan penuh kesa­dar­an. Da­ripada menghabiskan waktu membalas menghina, lebih baik mencoba memasukkan hadis ini ke dalam seluruh tindakan. "Allah semakin memperbanyak kenikmatan kepada seseorang karena ia banyak dibutuh­kan orang lain. Barang siapa yang enggan memenuhi kebutuh­an orang lain, berarti ia telah merelakan lenyapnya kenikmatan bagi dirinya." (HR Al Baihaqi)

Dengan sikap ini, bila Rasulullah benar-benar bertamu kita bisa menyambutnya tanpa rasa malu. Kita akan di­pe­luknya dengan air mata haru, beliau akan menepuk bahu kita. Ucapannya menyejukkan kalbu, perkataannya jelas, tidak sedikit, juga tidak bertele-te­le. Beliau adalah orang yang paling me­narik dan kharismatik di antara ketiga sahabatnya. Jika beliau berbicara, maka para sahabat yang menyertainya de­ngan khusyuk mendengarkan segala nasihat dan mematuhi segala perintahnya. (Bambang Q. Anees, 2009)

Kerinduan untuk menghadirkan kembali ketokohan pada waktu mitos (mythical time) primordial (Hijriah) menjadi pertanda manusia tradisional (homo religious). Ini diyakini oleh Mir­cea Eliade (1907-1986), pakar studi agama-agama dan fenomenologi saat me­motret masyarakat arkais (purba) yang cenderung untuk hidup sebisa mungkin dalam kesakralan dan dekat dengan objek suci dan pusat dunia.

Mudah-mudahan gerkan mencintai Rasul dengan cara meneladani beliau yang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari dapat menjadi bukti nyata atas kerinduan terhadap pemimpin yang menjadi panutan, pribadi paripurna yang kian meredup di bumi Nusantara.

Mari kita ikuti teladan Muhammad yang telah mendapatkan jaminan dari Allah. "Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah" (Q.S. Al Ahzab: 21).

Inilah pelajaran yang kita bisa ambil dari peristwa hijrah yang menempat­kan sosok Nabi Muhammad sebagai idola, figur, contoh. Khususnya bagi anak muda yang mulai terkikis identitasnya akibat derasnya modernitas, globalisasi, dan budaya pop. Selamat Tahun Baru Hijriah 1435. []


IBN GHIFARIE, Pengelola Laboratorium Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung.

×
Berita Terbaru Update