-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Mushaf (6)

Monday, February 03, 2014 | February 03, 2014 WIB Last Updated 2014-02-03T13:24:32Z

Momentum Hidup Damai
Oleh IBN GHIFARIE
Artikel ini pernah dimuat pada Podium Tribun Jabar edisi 21 November 2013


Diakui atau tidak peringatan Asyura 10 Muharam yang sempat menuai pro kontra di Kota Bandung yang digagas Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) Jabar berlangsung di Aula gedung Sekolah Menengah Atas (SMA) Al Muttahhari, di Jalan Kampus II, Kiaracondong, Bandung dan kediaman Habib Alwi yang terletak di Jalan Kembar No 6 Bandung. (Tribunnews, 14/11/2013 21:28 WIB)

Ini menjadi bukti nyata atas pudarnya sikap saling menghormati perbedaan, hidup rukun, damai sekaligus ketidak berdayaan negara, kepolisian yang tidak bisa melindungi kebebasan beragama dan menjamin rasa aman, nyaman, tentram terhadap warganya untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaanya.


Memang Jawa Barat merupakan provinsi yang paling tinggi melakukan tindakan kekerasan agama dan intoleransi.Hasil Laporan Tengah Tahun (Januari-Juni 2013) Setara Institute mencatat ada 122 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan yang mengandung 160 bentuk tindakan, yang menyebar di 16 provinsi. Separuhnya terjadi di Jawa Barat (61) peristiwa, Jawa Timur (18) dan DKI Jakarta (10) kejadian.

Parahnya, dari 160 bentuk tindakan pelanggaran kebebasan beragama berkeyakinan, terdapat 70 tindakan negara yang melibatkan para penyelenggara negara sebagai aktor dan 90 tindakan dilakukan oleh warga negara. Institusi negara yang paling banyak melakukan pelanggaran adalah Kepolisian RI (23) tindakan, pemerintah daerah di semua tingkatan pemprov, pemkab/pemkot dengan (20) tindakan, Satpol PP (14) tindakan.

Untuk pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan ini banyak menimpa Jemaat Ahmadiyah (46) peristiwa, umat kristen (30) peristiwa, syiah (12) peristiwa, umat dan aliran keagamaan islam (13) peristiwa. (www.setara-institute.org)

Sejatinya, kehadiran peringatan Hari Toleransi Internasional pada 16 November menjadi momentum hidup rukun, damai, berdampingan antara suku, agama, ras, golongan yang beragam di Indonesia ini. Pasalnya, membangun hidup damai (peaceful co-existence) merupakan salah satu tujuan dari toleransi sejati guna menciptakan masyarakat madani (beradab).

Spirit Toleransi


Menurut Cak Nur toleransi adalah salah satu asas masyarakat madani (civil society) yang kita cita-citakan. Toleransi bukanlah sejenis netralisme kosong yang bersifat prosedural semata-mata, tetapi adalah suatu pandangan hidup yang berakar dalam ajaran agama yang benar.

Pada saat ini para pemeluk semua agama ditantang untuk dapat dengan konkret menggali ajaran-ajaran agamanya dan mengemukakan paham toleransi yang autentik dan absah, sehingga toleransi bukan semata-mata persoalan prosedur pergaulan untuk kerukunan hidup, tapi—lebih mendasar dari itu—merupakan persoalan prinsip ajaran kebenaran.  (Ensiklopedi Nurcholish Madjid Jilid IV, 2006:3445-3447)

Bagi Michael  Walzer  (1997)  memandang toleransi  sebagai  keniscayaan  dalam ruang  individu  dan  ruang  publik.  Sebab, salah satu tujuan toleransi adalah membangun hidup damai (peaceful co-existence) di antara pelbagai kelompok masyarakat  dari  perbedaan latar belakang, kebudayaan dan identitas.

Toleransi, harus mampu  membentuk  kemungkinan  sikap, antara lain sikap menerima perbedaan,  mengubah  penyeragaman  menjadi keragaman, mengakui hak orang lain,  menghargai  eksistensi  orang  lain dan  mendukung  secara  antusias  perbedaan  budaya  dan  keragaman  ciptaan  Tuhan. (Haraian Pelita, 3/11)

Di mata Yong Ohoitimur toleransi mendorong usaha menahan diri untuk tidak mengancam, merusak hubungan dengan orang beragama lain. Agama lain tidak dilihat sebagai ancaman, melainkan sebagai pandangan atau jalan hidup yang mengandung kebaikan dan kebenaran walaupun belum sempurna. Karena kandungan kebenaran dan kebaikan itu, agama lain dibiarkan hidup. (Th. Sumartana, dkk, 2001:142)

Kunci Perdamaian

Ingat, toleransi adalah kunci dari perdamain dan kedamaian. Ini yang diyakini oleh Muhammad Dawam Rahardjo dalam buku Demi Toleransi, Demi Pluralisme (2007) toleransi merupakan kunci perdamain dan kedamaian, kunci dari persamaan serta kunci proresifitas. Toleransi bukan berarti lemah dalam agama. Bahkan dengan toleransi dapat dipahami keyakinan orang lain lebih baik tanpa harus percaya.

Toleransi erat kaitanya dengan pluralisme. Melalui pluralisme kita bisa saling memahami. Saya berbeda pendapat, keyakinan, pemahaman dengan orang lain tanpa harus memusuhi. Baginya, dalam pelbagai diskusi yang dilakukan dengan banyak orang Ia merasa bahwa banyak temen-temen yang takut dengan pluralisme. Seolah-olah pluralisme sebuah ancaman atau menempatkan diri dalam dunia ancaman. Tetapi pengalaman saya tidak. Justru pluralisme dan toleransi membuat saya lebih damai. (Kompas Jabar 24/1/2009)

Saking pentingnya belajar menghargai, menghormati orang lain yang berbeda agama, keyakinan supaya tidak mejadi penyulut atas konflik agama ini. Al-Qur’an mengisyaratkan bahwa Tuhan dan ajaran-Nya haruslah diletakkan di atas setiap kepatuhan kepada kelompok atau wilayah tertentu. Namun demikian, sejauh prinsip ini diamati, kepatuhan kepada keluarga seseorang dan himpunan manusia lainnya dan kepada tanah air seseorang diperkenankan (9:24) karena kaum muslim hidup dalam kelompok-kelompok yang lebih luas dan dalam wilayah-wilayah di mana mereka dapat tumbuh berkembang mereka harus hidup dengan agama-agama dan sekte-sekte lain. (Mohammed Fathi Osman,2006:5-6)

Dalam konteks Jawa Barat, khusunya Bandung apa yang dilakukan Aliansi Balad (#BDGLautanDamai) yang pertama dideklarasikan pada 2012, di Gedung Indonesia Menggugat dengan mengajak masyarakat Bandung untuk menolak kekerasan atas nama agama/keyakinan. Kini di tahun 2013 #BDGLautanDamai menggelar enam acara; Pertama,   Kampanye Car Free Day (3&10 November 2013). Kedua,  Workshop “Jurnalisme Keberagaman” (9 November 2013). Ketiga, Seminar "Keberagamaan sebagai Modal Peradaban Kota Bandung” (13 November 2013). Keempat, Pemutaran Film "Crash" (2004) (14 November 2013). Kelima, Pentas Seni Peringatan Hari Toleransi Internasional dan Orasi Kebudayaan (16 November 2013). Keenam, Peluncuran Buku #Dialog100 (16 November 2013).

Ini perlu kita dukung secara bersama-sama. Apalagi kebebasan beragama dan menjalankan ibadah sesuai dengan agama yang dianut merupakan hak dasar setiap warga negara dan dijamin oleh UUD 1945.

Mudah-mudahan dengan adanya Hari Toleransi Internasional pada 16 November tidak hanya penting untuk diperingati dan direfleksikan secara bersama-sama, tetapi harus bisa dijadikan memontum hidup rukun, damai, toleran, menjunjung tinggi setiap perbedaan, sehingga terciptanya masyarakat Sunda beradab yang menjunjung tinggi falsafah silih asah, asih dan asuh, tidak lagi mengajarkan perilaku barbar, bengis, anarkis, dan tidak main hakim sendiri dalam setiap menyelesaikan persoalan. Semoga.[]


IBN GHIFARIE, Pengelola Laboratorium Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung.
×
Berita Terbaru Update