-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Mushaf (7)

Monday, February 03, 2014 | February 03, 2014 WIB Last Updated 2014-02-03T13:21:33Z
Ngamumulé Budaya Sunda
Oleh IBN GHIFARIE
Artikel ini pernah dimuat pada Opini Galamedia edisi 10 Januari 2014

Harus diakui, pemakaian (wajib) pangsi lengkap dengan iket Sunda untuk laki-laki (PNS, siswa) dan kebaya bagi perempuan setiap hari Rabu di lingkungan Pemerintah Kota Bandung yang merujuk pada Peraturan Daerah (Perda) Kebudayaan Sunda dan penggunaan bahasa ibu (Sunda) setiap hari Rabu, termasuk saat memperingati hari jadi ke-203 Kota Bandung menjadi bukti nyata usaha menjaga, memelihara, dan melestarikan khazanah Ki Sunda yang berbasis pada kearifan lokal.

Khazanah kearifan lokal merupakan bagian yang tak bisa dipisahkan dari konstruksi kebudayaan dan suatu bangsa dianggap besar jika ikut memelihara, melestarikan, dan merasa bangga atas jati dirinya. 


Kearifan lokal

Menurut pandangan Jonh Haba, ke­arifan lokal mengacu pada berbagai kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah masyarakat, yang dikenal, dipercayai, dan diakui ­sebagai elemen-elemen penting yang mampu mempertebal kohesi sosial ­antarwarga.

Jika kita menginventarisasi defenisi Haba, setidaknya ada enam signifikansi fungsi sebuah kearifan lokal bila hendak dimanfaatkan sebagai salah satu bentuk pendekatan dalam konflik. Pertama, penanda sebuah identitas. Kedua, elemen perekat (aspek kohesif) lintas warga, kepercayaan, keagamaan. Ketiga, kearifan lokal tidak memaksa (top down), tetapi sebuah unsur kultural yang ada dan hidup dalam masyarakat. Karena itu daya ikatnya lebih mengena dan bertahan.

Keempat, kearifan lokal memberikan kebersamaan bagi sebuah komunitas. Kelima, local wisdom akan mengubah pola pikir dan hubungan timbal balik individu dan kelompok dengan meletak­kannya di atas common ground (kebudayaan yang dimiliki). Keenam, kearifan lokal dapat berfungsi mendorong kebersamaan, apresiasi sekaligus mekanisme bersama untuk menepis berbagai kemungkinan yang mereduksi, bahkan meru­sak solidaritas komunal yang dipercaya berasal dan tumbuh di atas kesadaran bersama, dari sebuah komunitas ter­integrasi.

Keenam fungsi kearifan lokal yang diuraikan ini menunjukkan pentingnya nilai-nilai ke­arifan lokal sebagai sumber-sumber budaya, sekaligus penanda identitas bagi kelangsungan hidup sebu­ah kelompok maupun alir­an kepercayaan. (Haba, 2007: 11 dan 34-35, Irwan Abdullah, Ibnu Mujib, dan M. Iqbal Ahnaf, 2008:7-8)

Ngamumulé

Salah satu usaha meles­tari­kan identitas lokal ini dengan me­makai iket, menggunakan kebaya, dan berbahasa Sunda. Bagi Mochhamad Asep Hadian Adipradja, Pimpinan Komunitas Pulasara, iket (totopong) merupakan kekayaan budaya tutup kepala paling tua di Ratar Sunda. Secara bahasa, iket berasal dari kata "saiket" (satu ikatan), sauyunan dalam satu kesatuan (perkumpulan) hidup. Ibarat lidi yang tidak mempunyai fungsi apa-apa bila tidak dalam satu ikatan sapu, yang akan mampu membersihkan apa pun. Begitu pula dengan manusia yang hidup sen­diri, tentu berat menghadapi suatu ma­sa­lah. Berbeda jika dilakukan bersama. Iket juga menandakan agar pemakainya tidak ingkah (lepas) dari jati diri kasundaan.

Kepala merupakan subjek yang diikatnya dan persoalan yang datang dari luar dan dalam dirinya merupakan objek yang harus dihadapi. Sehingga senantiasa siap menghadapi segala situasi dan kondisi, (caringcing pegeuh kancing, saringset pageuh iket).

Iket dibagi menjadi tiga bagian, yakni bahan, model (motif), dan bentuknya. Kualitas bahan dan ragam motif termasuk batik memengaruhi harganya. Biasanya iket kalangan menak motifnya rereng dan gamir saketi. Sebaliknya, jika iketnya polos —wulung di Kampung Du­kuh dan putih di Baduy Dalam— atau jika hanya ada motif batik di pinggirnya (iket sisina), maka harganya lebih murah dan yang menggunakannya pun berasal dari golongan rakyat kecil. Sedangkan bentuk iket ada dua, yaitu persegi dan se­gitiga. Sebenarnya semua bentuk iket berbentuk persegi, menjadi segitiga ka­re­na dilipat atau dipotong dari bentuk as­linya untuk mempermudah pemakaian.

Motif iket dibagi menjadi empat bagi­an, yaitu pager, modang, waruga, dan juru. Pager adalah motif yang ada di sekeliling iket. Modang, bentuk kotak pada bagian tengah iket. Waruga, bagian te­ngah iket yang polos. Serta juru merupa­kan motif yang ada di setiap sudut iket.

Dua bentuk iket sendiri mempunyai falsafah hidup. Bentuk persegi menunjukkan hidup masagi/sempurna dalam arti pemi­kiran, dengan siloka opat kalima pancer atau opat pancer kalima diri urang. Pan­cer menunjukkan empat mazhab/arah (utara, selatan, timur, ba­rat) dan bahan yang menjadi dasar kehidupam (tanah, air, angin, api).

Bentuk persegi juga terdapat di tengah motif (modang), yang selalu berlawanan dengan bentuk iket (diagonal) untuk membedakan dengan kain lain yang sejenis. Jika iket dilipat menjadi segitiga, bentuk mo­dang ini akan lurus (horizontal). Hal ini menunjukkan kapancegan (konsistensi) pandangan hidup. Dan bentuk segitiga adalah kesamaan konsep tritangtu (ratu, rama, resi) yang harus dimaknai secara luas.

Rupa iket awalnya hanya dikenal tujuh bentuk pemakaian. Tapi seiring de­ngan kreativitas masyarakat, rupa iket semakin bervariasi. Di antaranya barang­bang semplak, parikos/paros (parikos/ paros nangka, jingkol, gedang), koncir/ paitin, julang ngapak, lohin, ki parana, udeng, pa tua, koli nyangsang, porting, dll.

Melihat fenomena yang muncul kini, iket semakin tren di kalangan anak muda. Dengan berbagai motif dan gaya pemakaian. Bisa jadi dilatarbelakangi kerinduan terhadap nilai tradisional yang semakin tergerus modernisasi. Atau hanya pencitraan identitas tanpa pemaknaan. Meskipun demikian, harus jadi kebanggaan bersama dengan pertanggungjawaban yang diarahkan. Bahwa mengenal dan memaknai kembali kebudayaan Sunda tidak harus secara paksa. Tapi diawali dengan kesadaran kecintaan melalui iket. (Cupumanik No 91 Tahun VIII No. 7 Pebruari 2011:32-35 dan Galamedia, 28/3/2013)

Di mata Ahmad Gibson Al-Bustomi, dosen Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung, persoalan iket yang gemar dipakai anak muda sebaiknya dibiarkan saja. Artinya mereka tengah mencari hal-hal yang baru dan pencarian jati diri. Sedangkan jika di antara para pajabat ada yang mau memakainya, maka pakai saja, tidak usah menekan orang lain dengan aturan supaya memakai iket. Jangan-jangan sekarang yang memakai iket sering dianggap aneh karena kita sering dilabeli istilah "miara jeung ngamumul‚ budaya Sunda". (Cupumanik No 91 Tahun VIII No. 7 Pebruari 2011:38)

Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil menguraikan , iket makutawangsa dalam budaya Sunda memiliki filosofi tersendiri. "Sing saha bae anu make iket ieu, mangka dirina kudu ngalakonkeun Pancadharma (Siapa pun yang mengenakan iket ini, harus menjalankan Pancadharma). Yaitu, apal jeung hormat ka purwadaksi (menyadari dan hormat kepada asal-usul), tunduk kana hukum jeung aturan (tunduk pada hukum dan tata tertib/aturan), berilmu (harus pintar), ngagungkeun Sang Hyang Tunggal (Sang Pencipta, Tuhan), berbakti kepada bangsa dan negara. (Galamedia, 07/11/2013)

Jika Wali Kota Bandung memberlakukan aturan terkait iket untuk PNS dan siswa, lalu komunitas Ujungberung Rebels (Karinding Attack) giat mengampayekan karinding dan iket, maka sivitas akademika (Perguruan Tinggi Islam, UIN) pun harus ikut andil dalam melestarikan khazanah kesundaan dengan memberikan ruang lebih terhadap pengayaan mata kuliah bahasa Sunda. Juga menggunakan bahasa lokal dalam berdakwah dan melakukan penelitian terhadap naskah kuna yang nasibnya sangat menghawatirkan.

Dengan demikian, keterlibataan semua unsur sangat dinantikan karena peradaban (kebudayaan) suatu bangsa akan terus tumbuh berkembang, tetap terpelihara, lestari, dan kita pun merasa bangga bila ikut terlibat menjaganya. Inilah salah satu cara kita untuk ngamumulé budaya Sunda. Jika bukan kita, siapa lagi.

IBN GHIFARIE, pengelola Laboratorium Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung.
×
Berita Terbaru Update