-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Mushaf (8)

Monday, February 03, 2014 | February 03, 2014 WIB Last Updated 2014-02-03T13:24:10Z
Merunut Akar Kekerasan Agama 
Oleh IBN GHIFARIE
Artikel ini pernah dimuat pada Selisik Pikiran Rakyat edisi 13 Januari 2014

Hari Kerukunan Nasional yang diperingati setiap tanggal 3 Januari yang semula bertepatan dengan Hari Amal Bhakti (ulang tahun) Kementerian Agama. Perubahan nama ini harus menjadi momentum awal sebagai media yang baik untuk memelihara, mengingatkan dan membumikan arti pentingnya kerukunan antara agama di Indonesia.

Bila dikaitkan dua nama itu, barangkali dapat terumuskan bahwa umat beragama (di bawah Kementerian Agama) harus merumuskan amal baktinya dalam bentuk menciptakan kerukunan hidup bersama.


Amal bakti umat beragama dalam bentuk penciptaan kerukunan sangat strategis untuk situasi bangsa saat ini. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa angka kekerasan atas nama agama di Indonesia setiap tahunya terus meningkat. Pemicunya dari kekhilafan umat beragama dalam menghargai perbedaan (pendapat, penafsiran, keyakinan, kearifan lokal, suku, agama, etnis) dan keinginan untuk menjadikan kebenaran kelompok menjadi kebenaran untuk semua pihak.

Situasi ini, diyakini oleh Romo Franz Magnis-Suseno, salah satunya oleh ketidaksiapan sebagian masyarakat dalam menerima perbedaan dan kemajemukan. Alih-alih menerima perbedaan, mereka cenderung berkehendak untuk menindas, meniadakan, dan memberangus entitas kelompok (agama) lain yang berbeda

Akar Kekerasan


Parahnya, ketidaktangguhan pengelola negara dalam menerjemahkan kemajemukan bangsa di tengah kehidupan nyata yang disempurnakan oleh ketidaksiapan sebagian kelompok masyarakat dalam menerima pelbagai perbedaan dengan menyikapinya melalui berbagai tindak kekerasan.

Alhasil, segala konflik-konflik kecil yang seharusnya bisa dikelola secara baik, pada akhirnya menjadi petaka yang mencabik-cabik keharmonisan hidup berbangsa. Tentunya, ketidaktegasan negara dalam menindak aksi-aksi kekerasan komunal itu menjadi bukti kongkrit akan limbungnya pemerintah dalam mengarahkan haluan (politik) multikultural.

Dapat dipastikan kegagalan mengelola konflik kerap berujung pada penggunaan kekerasan. Kekerasan bukan sebagai akhir, tapi sebagai cara mencapai tujuan. Ini menunjukkan seseorang yang melakukan tindakan merugikan orang lain, layak untuk mendapatkan hukuman.

Ironisnya, aparat keamanan yang diharapkan menjaga stabilitas keamanan, di beberapa aksi kekerasan bahkan turut mengobarkan aksi sektarianisme. Mereka ”tak segan-segan memelihara” para preman dan jagoan untuk dijadikan kolega melakukan aksi kekerasan dengan dalih melakukan penertiban umum. (Jurnal MAARIF Vol. 5, No. 2 — Desember 2010:4, 9, 65, 80, 132)

Hasil pemantauan konflik kekerasan di Indonesia dalam catatan The Habibie Center menunjukkan aksi kekrasan kian meningkat. Pasalnya, untuk periode Januari-April 2012 terjadi 2.408 insiden kekerasan yang mengakibatkan 302 tewas, 2.044 cedera, dan 682 bangunan rusak di sembilan provinsi yang dipantau dalam program sistem pemantauan kekerasan nasional (National Violence Monitoring System-NVMS). Dari total insiden kekerasan tersebut, 61% berasal dari konflik kekerasan. (Catatan Kebijakan NVMS edisi Juli 2012:1)

Kerukunan Sejati

Bila tindakan kekerasan, main hakim sendiri menjadi jurus pamungkan dalam setiap  menyelesaikan persoalan (konflik) dapat dipastikan tidak akan ada ruang dialog dan niscaya kerukunan, kedamaian, keharmonisan antaraagama, manusia tak akan terjadi.

Apalagi mengingat iklim kerukunan di Indonesia dibangun secara politis. Padahal tidak bisa tumbuh subur kerukuan sejati jika dikendalikan oleh kekuatan politik. Realitas kerukunan di Nusantara yang terpuruk hingga kondisi yang amat parah, seperti di India dan Balkan, tak dapat dipisahkan dari pola-pola pengelolaan pemerintahan Orde baru.

Bagi Prof. Dr. Olaf Herbert Schumann, pegiat Studi Agama-agama yang mencatat tindakan Sudomo pada 1970an yang dalam kapasitasnya sebagai Kepala Kopkamtib memperkenalkan istilah SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) bagi setiap konflik bernuansa agama, sementara politik dalam negeri Soeharto berfokus pada ketertiban dan keamanan; sebagai pemicu munculnya era kekerasan yang merusak  harmoni dan kerukunan di Indonesia.

Sebuah kerukunan yang otentik, asli mesti ditumbuhkan dari bawah, masyarakat dan umat. kerukunan dariatas, apalagi dengan kekuatan politik hanya akan menghadirkan kerukunan semu. Kerukunan artifisial hanya akan bermuara pada perpecahan dan konflik. (Gatra 9 Oktober 2004:88)

Harus diakui, Kerukunan hidup antarumat beragama di Indonesia tak bisa dilepaskan dari sosok Abdul Mukti Ali, Guru Besar Perbandingan Agama yang bersama Alamsyah Ratuperwiranegara menegaskan, pembinaan kerukunan hidup beragama perlu ditingkatkan dengan memberi bobot, sehingga menjadi musyawarah pemuka-pemuka umat beragama dari berbagai agama di Indonesia. Dari hasil itu dicanangkan strategi pembangunan yang selama ini kita kenal dengan istilah “Tri Kondial” (tiga kondisi ideal/trilogi kerukunan), yaitu kerukunan antarumat beragama, intern/sesama umat beragama, dan kerukunan antarumat beragama dan pemerintah.

Upaya mewujudkan kerukunan umat beragama erat kaitanya dengan kerjasama, dialog seperti yang diusulkan A Mukti Ali pada Kongres Nasional I  Agama-Agama di Indonesia (1993) di Yogayakarta;

Pertama, Dialog kehidupan, rakyat dari pelbagai macam agama hidup rukun dalam satu negara, satu sama lain saling memperkaya keyakinan agamanya dengan perantaraan melakukan ajaran, dan keyakinan masing-masing.  Ini terlihat dalam kehidupan antaragama yang sangat baik. Kedua, Dialog kerjasama, dan kegiatan-kegiatan sosial yang memperoleh inspirasi agama. Ini terekam jelas dalam melaksanakan pembangunan untuk memberantas kemiskinan.

Ketiga, Dialog Intermonastik yang akan menimbulkan saling menghargai perbedaan, kerjasama antarumat beragama. Keempat, Dialog Koloquim Teologis yang dapat  dilakukan oleh ahli-ahli agama dengan jalan tukar-menukar informasi tentang ajaran agama masing-masing. (Mukti Ali, 1993:17).

Keterlibatan pemerintah dalam membangun, menjalankan kerukunan antarumat beragama sangat dinantikan. Apalagi keikutsertaan para pemuka agama dan bersifat grass roots menjadi modal utama membangun kerukunan sejati. Tentunya, kehadiran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang berada disetiap provinis, kota, kabupaten, dan kecamatan perlu dioptimalkan dan didukung secara penuh. Sebab tanpa bantuan pelbagai pihak kerukunan tak akan tumbuh dan berkembang. []



IBN GHIFARIE, alumnus dan peneliti pada Program Magister Religious Studies Pascasarjana UIN SGD Bandung.
×
Berita Terbaru Update