-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Mushaf (9)

Monday, February 03, 2014 | February 03, 2014 WIB Last Updated 2014-02-03T13:27:09Z
Belajar dari Air 
Oleh IBN GHIFARIE
Artikel ini pernah dimuat pada Opini Galamedia edisi 24 Januari 2014

Harus diakui, banjir yang melanda Manado, Jakarta, Bandung, longsor di Tomohon, Pekalongan, dan erupsi gunung berapi Sinabung pada saat musim hujan, menjadi bukti nyata atas perbuatan lalim manusia yang sering alpa mensyukuri segala pemberian Tuhan.

Sikap serakah, tamak, dan perilaku jahil yang tertanam dalam sanubari kita membuat alam (gunung, air, tanah) murka seka­ligus unjuk kekuatan. Adakah yang tidak tepat dengan sikap keberagamaan kita dan watak pemimpin kita dalam menjalankan amanahnya untuk mengelola alam, lingkungan, air, dan hutan dengan baik? 


Sejatinya kehadiran peringatan Hari Raya Tahun Tionghoa Xin Nian (1 Imlek 2565) dengan sio kuda kayu, yang jatuh pada tanggal 31 Januari 2014, dapat memberikan keselarasan, keseimbangan, keharmonisan antara manusia (pemimpin) dengan alam supaya lebih arif.

Ketidaksadaran

Menurut Graham Parkes, profesor dari University of Hawai, segala kerusakan ini diperparah dengan mentalitas masyarakat yang minus kesadaran untuk melestarikan alam lingkungan. Graham mengajak para ilmuwan, budayawan, pegiat studi agama-agama, untuk berpaling pada agama dan ideologi Timur. Tampaknya perlu kita dukung secara bersama-sama. Pasalnya alam dan lingkungan tidak saja dinilai sakral, tapi mengandung unsur ketuhanan. Alam diyakini sebagai sumber dari segala bentuk kearifan.

Pentingnya peran agama dalam lingkungan membuat Dr. Hendri Bastaman, berkomentar tentang konservasi yang membutuhkan keterlibatan peran agama. Baginya, kegagalan konservasi diakibatkan tidak melibatkan agama sebenarnya sudah jauh terlihat pada 20 tahun silam. Pada tahun 1972 telah diadakan pertemuan di Stockholm, Swedia yang melibatkan 100 negara. Saat itu pendidikan yang diyakini dapat menyelesaikan masalah lingkungan adalah keilmuwan. Namun, setelah dicermati 15 tahun pada pertemuan New York tahun 1987, hasilnya justru mengejutkan banyak pihak. Pertemuan itu menyimpulkan bahwa eskalasi kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup semakin tinggi. (M. Ziaulhaq, 2011: 3-4 dan 18-19)

Falsafah Air

Umat Khonghucu menya­kini manusia adalah pemberian dari langit, oleh karena itu kekaisaran Cina sering disebut sebagai putra surgawi. Ia mewakili kekuatan-kekuatan alam yang memerintah dunia. Dengan demikian, para pemimpin penguasa dan orang-orang bijaksana perlu mempelajari pelaku alam yang memiliki kemampuan pemimpin manusia ke jalan yang terbaik sesuai dengan keselarasan alam (harmoni kosmos).

Seorang yang mempelajari Tao berusaha mempelajari perilaku air, salah satu benda alam yang paling banyak menarik perhatian penganut Tao. Seorang pemimpin dapat menarik “ibarat” dari perilaku air yang selalu bergerak tapi diam-diam, yang tampaknya lembek sekaligus memiliki kekuat­an yang dahsyat; mampu menyesuaikan diri di mana pun tetapi sebenarnya menga­lir ke tujuan akhir. Air memberi gambaran dari satu prinsip Tao yang disebut Wu-wei. Suatu pengertian yang sulit dimengerti kecuali dengan melihat suatu contoh, seperti yang dapat dilihat dari perilaku air.

Wu-wei dalam ajaran Tao adalah cara yang mengandung kekuatan tapi pengertiannya sulit dijelaskan dan karena itu diterangkan dengan amsal. Misalnya bayi yang tak berdaya tapi mempu mendominasi perhatian seluruh keluarga. Air yang lembut dan tenang tapi mampu mengikis batu karang atau lebah yang rendah tapi lebih mampu menahan angin dari gunung.

Sebagai metode, kepemim­pinan Tao menuntun seorang pemimpin mendidik orang lain sesuai dengan hu­kum-hukum alam. Ini merupakan cara (sikap) hidup bagi pemimpin itu sendiri, yaitu tentang bagaimana hidup secara harmonis dengan alam. Apa yang disebut hukum-hu­kum alam dalam ajaran Tao ini tidak lain tentang bagaimana segala peristiwa itu terjadi. “Manusia mengambil hukum dari bumi, bumi mengambil hu­kum dari langit, dan langit mengambilnya dari Tao. Hukum Tao adalah apa yang terjadi itu,” kata Lao Tse.

Bila dibandingkan dengan para ahli fisika yang mempelajari hukum-hukum ma­tematis yang berlaku di alam semesta, me­to­de Tao hanya mengambil ibarat saja. Seolah-olah alam hanya memberi gambaran tentang perilaku yang patut dicontoh oleh manusia. Misalnya seorang pemimpin mengambil amsal dari sebuah danau di lembah.

Untuk menjadi pemimpin yang bijaksana seseorang harus bisa belajar dari air. Tanpa membeda-bedakan dan tanpa penilaian. Air membasuh dan menyegarkan segala sesuatu. Dengan bebasnya dan tanpa rasa takut. Air itu bergerak di bawah permukaan; cair, lentur, dan kerena itu responsif; mengikuti hukum dengan rasa bebas dan merdeka.

Seorang pemimpin itu tanpa mengeluh bekerja dengan siapa pun dan menghadapi masalah apa pun; memberi dan bukan menarik manfaat; berbicara sederhana dan jujur. Ia hanya melakukan intervensi untuk menjelaskan sesuatu dan menciptakan harmoni. Dengan belajar perilaku air, (timing) pemilihan waktu penting dalam melakukan suatu tindakan. Sebagaimana air seorang pemimpin harus mampu menghasilkan sesuatu. Ia tidak boleh memaksa dan jangan sampai anak buah membangkang justru karena didorong.

Bagi orang yang ingin menjadi pemimpin yang bijaksana Tao mengajarkan, pertama, belajarlah memimpin dengan mengembangkan. Kedua, belajarlah memimpin tanpa niat menguasai orang. Ketiga, belajarlah memberi tanpa mengambil manfaat. Keempat, belajarlah memimpin tanpa memaksa (Jurnal Uluml Quran No. 3 Vol. 1 1989/1410 H:14-18)

Bila kita bisa mengakrabi air (hujan), niscaya tidak akan terkena petaka atas segala kekuatan air, karena kita sering bersyukur dan berbuat baik dalam menjalani kehidupan ini. Oleh karena itu, keterlibatan pemuka agama, pemimpin menjadi bagian penting dalam menciptakan keseimbangan, keharmonisan, keselarasan lingkungan alam ini.

Dalam konteks Jawa Barat, sudah selayaknya kita belajar arti penting memuliakan air, alam, seperti yang termaktub dalam naskah kuno Sanghyang Siksa Kandang Karesian, Cikeruh ulah rek kiruh/Ku­duna canembrang herang/Nya ieu sirah cai Cisempur/Kudu dirumat sangkan hi­rup Makmur/Di dieu tapak sasaka/Sirah walungan jadi pusaka/ Lamun hirup ha­yang nanjung/Piara ieu sirah Cikapundung/Ieu sasaka jadi amanat/Sirah cai kudu dirumat/Ciri bakti ka lemah cai/Ku miara ieu sirah cai.

Inilah pelajaran berharga yang dapat kita ambil dari perayaan Imlek untuk menyelamatkan keberlangsungan kehidupan ma­nusia dengan cara menjaga, merawat, men­cintai air, pohon, dan gunung karena air merupakan sumber dan asal-usul kehidupan. Terwujudnya kawasan tata kota yang ramah, seperti Shanghai menjadi dambaan kita semua. Semoga. Selamat Hari Raya Imlek 2565. Gong xi fa cai.[]


IBN GHIFARIE, pengelola Laboratorium Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung.


×
Berita Terbaru Update