-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Nyepi, Momentum Hidup Harmonis 'Ida Ayu-Wahyu'

Monday, May 17, 2021 | May 17, 2021 WIB Last Updated 2021-05-27T03:19:37Z


GHIFARIE-Ada situs-situs yang bertengger dan menjadi bukti nyata atas keharmonisan, kekekalan kebajikan abadi, antara pengikut Hindu dan Islam di Bumi Pertiwi.

Semisal Candi Cangkuang di Kampung Adat Pulo, Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut; Masjid Menara Kudus (Masjid Al Aqsa Manarat Qudus) di Pejaten, Kauman, Kec. Kota Kudus, Kabupaten Kudus; Masjid Al-Hikmah di Jalan Soka Nomor 18, Desa Kesiman, Banjar Kertalangu, Kecamatan Denpasar Timur, Kota Denpasar, Bali; Pondok Pesantren Bali Bina Insani di Desa Meliling, Kecamatan Karambitan, Kabupaten Tabanan, Bali; nisan makam Sultan Muhammad Bahaudin di Kompleks Pemakaman Kawah Tengkurap Palembang.

Pasalnya, dari ruang keagamaan (Candi, Masjid, Pondok Pesantren, Makam) itu terpancar sikap keterbukaan, toleransi, dan menghargai keragaman.

Kehadiran hari raya Nyepi 1943 Saka yang jatuh pada tanggal 14 Maret 2021 harus menjadi momentum yang tepat untuk menciptakan hidup rukun, harmonis di bumi persada Nusantara ini.

Pasalnya, umat Hindu tengah menjalankan perayaan Nyepi dengan melakukan tahapan ritual;  Melasti (pertobatan), Tawur (mengembalikan keseimbangan alam, manusia), Catur Brata Nyepi (empat ritual puasa; Amati geni/tidak menyalakan api; Amati Karya/tidak melakukan pekerjaan sehari-hari; Amati Lelungaan/tidak bepergian; Amati Lelanguan/tidak menghibur diri, hingga tidak boleh memasak dan juga tidak memakai lampu penerangan) dan Ngembak Geni (melakukan dharma santi/ibadah sosial berupa silaturahmi pada sanak, kerabat, tetangga).

Umat Hindu berkeyakinan kerukunan, keharmonisan dan perdamaian merupakan segenap berkah terpenting dalam pergantian Nyepi. Caranya dengan menjadikan perayaan ini untuk penyucian diri menuju puncak keheningan jiwa yang berlandaskan kepada keunggulan spiritual dengan cara mengutamakan etika dan moral guna memperbaiki kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang beradab.

Pesan Nyepi

Menurut Dewa K. Suratnaya, catur brata Nyepi ini merupakan puncak kehiningan jiwa. Pada hakikatnya sebuah dharma sadhana, latihan spiritual bagi jiwa-jiwa yang selalu berada di jalan dharma. Pasalnya, sebuah sadhana yang bersifat swadaya (mandiri) bagi umat Hindu ini untuk penyucian diri dengan masuk ke dalam keheningan terdalam (Nyepi).

Catur Brata pada dasarnya bersifat hening dengan lebih banyak merenung dan introspeksi diri. Dengan berani menelisik ke dalam relung jiwa dan mengevaluasi. Jujur untuk mengakui segala kehilafan selama satu tahun ini.

Sradha (keyakinan) kita sebagai umat Hindu seringkali terbagi dan terbelah oleh kekuatan Triguna, yaitu satwam (tampil dengan sikap dan perilaku yang bersifat dewata), rajas (tampil dengan sifat keraksasaanya; kama, lobha dan krodha), tamas (tampil dengan sifat kemalasannya dan lamban).

Kualitas sradha dan bhakti sangat dipengaruhi Triguna. Oleh karena itu, berbagai momentum hari-hari besar keagamaan Hindu tidak lepas dari pesan-pesan untuk mengendalikan Triguna.

Pengaruh Triguna ini memang tak terhindarkan karena ketiga guna itu lahir dari prakrti yang menjadi unsur utama dalam diri kita. Catur brata Nyepi ini sebagai puncak keheningan dan penyucian jiwa, tidak lepas dari esensinya, yakni agar kita bisa mengandalikan Triguna.

Harapan yang terkandung dalam catur brata Nyepi ini akan menghasilkan sradha yang didominasi oleh sifat-sifat satwam. Demikian pesan-pesan yang bisa digali dan dikembangkan dalam pelaksanaan catur brata Nyepi sebagai sebuah dharma sadhana dalam upaya kita untuk mencapai sradha yang satwam. (Majalah Media Hindu, Edisi Maret 2015:36-37).

Keutamaan Moral

Untuk tataran pribadi dengan melaksanakan semua ritual Nyepi dapat dipastikan kita sudah mencapai kesadaran. Bagi Shankaracharya, filusuf Hindu yang hidup di India pada abad 8 mengatakan "Sepi adalah langkah pertama untuk menuju keunggulan spiritual." Nyepi baru merupakan satu langkah awal. Jadi jangan ada yang berpikiran setelah melakukan Nyepi selama satu hari, kita sudah mencapai keunggulan sipitual dan keutamaan moral.

Pepatah Tionghoa menyatakan perjalanan sepuluh ribu li dimulai oleh langkah satu. Langkah awal itu sangat penting dan menentukan.

Ada tiga unsur dalam perbuatan manusia; pertama, kehendak. kedua, tindakan itu sendiri. Ketiga, hasilnya. Dari ketiga unsur ini hanya unsur pertama dan kedua yang ada dalam kendali manusia. Di dalam kedua unsur inilah menusia menerapkan moralnya. Kita menghendaki melakukan suatu perbuatan baik dan produktif. Lalu dalam tindakan, kita melakukannya dengan benar. Unsur ketiga, hasilnya di luar kendali kita.

Bagi orang beragama unsur ketiga ini adalah wilayah kekuasaan Tuhan. Jadi kita harus berjanji untuk setiap melakukan pekerjaan dengan kehendak baik dan cara yang baik.

Hasil sepenuhnya diserahkan kepada Tuhan. Ini yang diajarkan oleh Bhagawad Gita, kewajiban kita hanyalah bekerja. Hasilnya adalah unsur Tuhan. Ini sama dengan bekerja tanpa mengharapkan hasil. Tidak ada larangan untuk  menggunakan hasil itu bagai kesejahteraan kita karena larangan semacam itu akan membuat penyelenggaraan hidup pribadi dan masyarakat. (Ngakan Made Madrasuta, 2010:279-282).

Di mata Nyoman S. Pendit menilik praktek dari unsur-unsur Nyepi ini menjelaskan Brata Penyepian di Bali tidak hanya milik Hindu (Ida Ayu). Ini terlihat dari perilaku non Hindu (Wahyu) yang tak bepergian, kecuali tugas di rumah sakit; aparat keamanan yang harus bertugas ke luar. Mereka juga tidak menyalakan lampu secara menyolok. Sungguh syahdu. Sikap toleran dan membangun kerukunan antarumat bergama terpancar dari perayaan Nyepi.

Umat Hindu menyakini Hari raya Nyepi sebagai hari kontemplasi. Nyoman, menuliskan melalui ritual hening Nyepi, umat Hindu menyongsong tahun mendatang dengan pembaruan spirit sebagai perwujudan bakti kepada esensi dan nilai-nilai religius kehidupan yang menjadi jembatan untuk berbakti kepada Sang Pencipta. "Dengan penyucian diri melalui brata penyepian ini, segala kotoran dan debu-debu kehidupan berupa emosi, ambisi dan nafsu dinetralisasi kembali agar manusia bisa menghadap dan menemukan-Nya dalam keadaan suci." (Nyoman S. Pendit, 2001;190)

Bila kita kuat memegang ajaran agama dan menjunjung moral, niscaya tak ada lagi usaha melakukan kekerasan agama, dalam konteks perayaan Nyepi, tetap menjaga kekhidmatan dharma ini dengan tidak memakai pengeras suara saat melaksanakan shalat sebagai perwujudan saling menghormati, menghargai antar sesama umat beragam (Ida Ayu-Wahyu) untuk menciptakan hidup rukun.

Dengan demikian, kerukunan menjadi pilar utama dalam mewujudkan kehidupan berbangsa, bernegara yang adil, damai, sejahtera dan beradab ini. Inilah berkah terpenting dalam pergantian Nyepi untuk kita jadikan momentum yang tepat dalam membangun kehidupan yang rukun, harmonis dengan cara menyucikan diri, saling menghormati satu sama lain untuk meraih keheningan jiwa. Selamat Hari Raya Nyepi 1943. Semoga semua makhluk berbahagia.

Ibn Ghifarie, Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung

×
Berita Terbaru Update