-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Zakatnomics, Uang (Online), dan Bonus “Tai Munding”

Monday, May 17, 2021 | May 17, 2021 WIB Last Updated 2021-05-27T03:18:53Z


GHIFARIE-Islam hadir membawa ajaran universal dan semangat perkembangan zaman (Shalih li Kulli Zaman wa Makan). Begitu juga dalam urusan zakat, baik zakat fitrah, mal atau harta, maupun fidyah, yang bisa dibayar dengan bentuk dan cara-cara yang fleksibel; mulai uang dan harta kekayaan, sampai di era kekinian lewat aplikasi online melalui Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) maupun lembaga pengumpul zakat lainnya. Apa pun media dan caranya, esensinya sama, yaitu mensucikan diri setelah menjalankan puasa selama satu bulan penuh.

Esensi lain dari zakat ialah kekuatannya yang besar dalam mengurangi kemskinan. Potensi zakat di Indonesia mencapai Rp 327,6 triliun, menurut data Outlook Zakat Indonesia 2021. Angka ini terdiri dari zakat perusahaan (Rp 144,5 triliun), zakat penghasilan dan jasa (Rp 139,07 triliun), zakat uang (Rp 58,76 triliun), zakat pertanian (Rp 19,79 triliun), dan zakat peternakan (Rp 9,52 triliun).  

Kendati demikian, riset Baznas menunjukkan realisasi zakat baru mencapai Rp 71,4 triliun. Sebanyak 85 persen zakat justru terkumpul melalui lembaga zakat tidak resmi.

Wakil Presuden Maaruf Amin mendorong Baznas agar meningkatkan jangkauan kepada mustahik melalui kolaborasi, pengembangan inovasi, digitalisasi zakat agar mempermudah muzakki (wajib zakat) menunaikan kewajibannya.

Peningkatan literasi zakat bagi generasi milenial, (anak muda) Indonesia harus terus dilakukan sebab indeks literasi zakat nasional pada 2020 masih pada tingkat moderat (66,78 persen). Proses digitalisasi menjadi kemestian untuk meningkatkan transparansi dalam pengelolaan dan penyaluran zakat. (Bisnis, 05 April 2021, 14:59 WIB).

Syekh Yusuf Qardawi membolehkan zakat fitrah dibayarkan dalam bentuk uang yang setara dengan 1 sha' gandum, kurma, (beras). Di Indonesia, besaran zakat fitrah setara dengan beras (makanan pokok) dengan berat 2,5 kg atau 3,5 liter per jiwa.

Merujuk pada SK Ketua Baznas No. 7 Tahun 2021 tentang zakat fitrah dan fidyah (uang pengganti puasa) untuk wilayah Ibu Kota DKI Jakarta Raya dan sekitarnya, ditetapkan nilai zakat fitrah setara dengan uang sebesar Rp 40.000 per jiwa.

Zakatnomics

Zakat diharapkan dapat membantu meningkatkan kesejahteraan rakyat dan menurunkan angka kemiskinan. Rendahnya edukasi dan sosialisasi manfaat dan pentingnya zakat yang menjadi penyebab minimnya serapan zakat.

Menjawab persoalan itu, lahirlah istilah zakatnomics yang didasarkan pada empat pilar utama; faith (keyakinan), productivity revolution, fair and just economic dan implementasi zakat, seperti didengungkan oleh Arifin Purwakananta.

Zakatnomics didefinisikan oleh Puskas Baznas sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana membangkitkan kesadaran untuk membangun tatanan ekonomi baru untuk mencapai kebahagiaan, kesetimbangan kehidupan, dan kemuliaan hakiki manusia yang didasarkan pada semangat dan nilai-nilai luhur syariat zakat.

Dengan kata lain, zakat, infak, sedekah, dan wakaf (Ziswaf) perlu dibumikan dalam praktik kehidupan sehari-hari, agar tercipta ketakwaan, produktivitas, dan ekonomi berkeadilan (Republika, 26 Desember 2019).

Zakat Munding

Di masa kolonial Belanda, proses pembayaran zakat yang dilakukan masyarakat Tatar Sunda di Priangan dilakukan sejak malem salikur, sepanjang siang dan malam. Haryoto Kunto dalam buku Ramadhan di Priangan menuturkan, Dr. Andries de Wilde, tuan tanah yang luas tanahnya setengah luas Tatar Bandung sejak Jalan Raya Pos (Grotepostweg) sampai kaki gunung Tangkubanparahu, pada awal abad 19 mencatat puluhan pedati dihela kerbau yang membawa setoran zakat dari seluruh distrik bawahan Negorij Bandung: Timbanganten, Cikambulan, Ciponco, Banjaran, Cimahi, Nagara, Cilokotot, Kopo, Cisondari, Rongga, Cicalengka, Majalaya, Limbangan, Cipicung, Dangdeur, Rakjamandala Bayangbang, Ciheya dan Ujung Berung.

Penghulu Hasan Mustapa merinci barang zakat yang disetorkan ke Mesjid Kaum Bandung (kini Masjid Agung) berupa padi, kopi dan hasil bumi seperti jagung, ketela dan kelapa. Dari zakat hasil bumi seperti jagung, ketela dan kelapa itulah hidangan tajil dan jajbur disuguhkan kepada hadirin, jemaah mesjid.

Begitu pula sebagian dari padi (beras) zakat, dimasak guna memberi makan buka puasa bagi para fakir, musafir/pengelana, dan puluhan Islam mualaf (baru masuk Islam). Di masa lalu, mualaf biasanya orang non-pribumi, kebanyakan orang-orang China. Mereka itulah orang-orang yang mendapatkan santunan berupa makan dan inapan dalam kompleks Mesjid Agung.

Bagi R. Akip Prawira Soeganda dalam buku Upacara Adat di Pasundan, membayar zakat fitrah bagi suku Sunda (tempo doeloe) merupakan kewajiban yang harus ditunaikan, bahkan menjadi adat di dusun. Orang merasa hina bila tidak mampu membayar zakat fitrah. Maka lahirlah buah tutur masyarakat Sunda, bila ada orang dihina oleh temannya, maka jawabnya: “Na ngahina teuing, kawas ka jelema nu teu dipitrahkeun bae.” Maksudnya, tak perlu menghina karena sama-sama telah membayar fitrah.

Kesadaran orang di Pasundan untuk memenuhi kewajiban membayar zakat fitrah, ketimbang mengatur (menuntut) kemurahan hati orang kaya, mencerminkan landasan kuat the spirit of Islam yang mendalam.

Kembali ke kisah yang diceritakan Andries de Wilde, warga Sunda di Priangan selain menunaikan zakat fitrah dan zakat bumi yang ditampung di Mesjid Agung, mereka juga membayar zakat zakat kerbau (zakat munding).

Menurut ketentuan, bagi penduduk (petani) kaya, yang memiliki lebih dari 30 ekor kerbau, di luar jumlah kerbau penghela pedati kopi, harus membayar zakat sebesar 5 (lima) Rijksdaalders (1 Rijksdaalders = Rp 1.50). Untuk setiap 10 ekor kerbau yang dimiliki, harus dizakati sebesar 1 dukat emas setiap tahun.

Ya, namanya juga zaman baheula, perjalanan dari onder-distrik ke Dayeuh Bandung masih tergolong werit, banyak begal di jalan. Maka, para pembayar zakat lebih suka membayar zakat dengan munding hidup ketimbang harus membawa uang zakat, untuk menghindari risiko perampokan.

Jadi bisa dibayangkan, betapa berdesakan kerbau hasil pengumpulan zakat munding di Alun-alun Bandung setiap akhir Ramadhan. Tentu saja yang namanya "tai munding" berserakan di mana-mana. Padahal sebentar lagi, lapang Alun-alun bakal dipergunakan sebagai tempat shalat Idulfitri. Maka sibuklah marebot, katir, dan para santri, kerja keras mengumpulkan dan membersihkan pupuk kandang sebagai bonus zakat fitrah dari penduduk Tatar Bandung.

Dari hasil pengumpulan zakat fitrah, baik dalam bentuk barang, uang, hasil bumi, dan munding, yang kemudian dibagi-bagikan menurut aturan sebagai berikut:

Sembilan persepuluh bagian (90 persen) diperuntukkan bagi fakir miskin, yatim piatu, musafir, kelana ulama yang kekurangan, dan untuk mengisi Baetul Maal. Ada pun yang sepersepuluh bagian (10 persen) dari zakat yang terkumpul kemudian dibagi tiga, dua pertiga bagian untuk Penghulu, sedangkan yang sepertiga sisanya buat amil (Haryoto Kunto, 1996:82-83 dan 88-89).

Proses pembayaran zakat menggunakan uang, harta kekayaan, kerbau menunjukan perjalanan ajaran dan peradaban Islam telah sesuai dan seirama dengan dinamika peruabahan zaman. Syahrur menegaskan supaya ajaran Islam dapat selalu sesuai dengan segala zaman dan tempat, maka umat Islam perlu terus melakukan pemahaman baru terhadap Kitabullah sesuai dengan konteks zamannya (Syahrur, 1990: 44-45).

Inilah bentuk harmonisasi antara Islam dengan budaya (tradisi) yang didasarkan pada semangat zaman untuk terus berubah ke arah yang lebih baik. Hadirnya pembayaran zakat dengan hewan, harta benda, menggunakan uang, melalui aplikasi digital menjadi iktiar bersama untuk menghadirkan Islam universal. Semoga.

Ibn Ghifarie, pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung

×
Berita Terbaru Update