-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kitab (19)

Thursday, February 22, 2007 | February 22, 2007 WIB Last Updated 2008-01-30T20:32:10Z
Hidup Karl Mark
Oleh Ibn Ghifarie

`Leudzh, ayeu namah euweuh idealisme anu sok di gembor-gemborkeun ku urang keur kuliah teh. Angger we lamun geus balik ka lembur mah anu meunang teh logika Karl Mar (dialektika materialisme-red). Kumaha carana meunang duit keur hirup sapopoe,` demikian ungkap salah satu Alumnus Aqidah Filsafat Fakultas Filsafat dan Teologi.

`Pokona mah kumaha cara neangan duit. Lain gawe, tapi materi. Urang sampe kudu kukurilingan bari mawa lamaran kerja jeung konsepan konseling ka tiap sakola SMA anu aya di Bandung.` tambahnya.

Tak ayal, ungkapan bernada getir dan pesimis itu, tentu saja menghentakan perasaanku. Pasalnya, aku sedang terbuai dalam santapan bala-bala Alakadar di Kedai Ushuluddien (21/02). Sambil ditemani secangkir kofi, segelas susu dan tumpukan gehu panas plus bumbu penyedap dan sambel khas Warteg.

Maklum saja, kami tak pernah ketemu lagi pasca mereka lulus (Agustus 2006). Sekedar tegur sapa via pesan singkat (sms), rasanya tak pernah kami lakukan. Atau Sekedar membincang masalah kampus; pergantian kepengurusan di tubuh KBM (Keluarga Besar Mahasiswa) UIN apalagi. Saat aku menunggu kehadiran Sekjur (Sekretaris Jurusan) guna berkonsultasi masalah kuliahku.

Semula tak ada jawaban dariku. Kecuali anggukan kepala sebagai pertanda membenarkan ikwal ketidakjelasan ijazah dan prospek jurusan. Sejurus kemudian, ngobrol masa depan yang kadung harus dilewati pun mulai merambah kesana-kemari bak kentut saja. Hingga Ia berujar menutup pembicaraan `Alah asa teu meunang nanaon kuliah teh. Soal Filsafat heun teu. Teologi komo. Tasawuf boro-boro. Tungtungnamah kudu ngandelkeun ka bisa sorangan. Naon we anu penting ngahasilkeun duit.`

Bila dirunut kebelakang, dahulu aku tau betul bagaimana Ia begitu aktif di pelbagai organisasi mulai dari BEM-J (Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan), ekstra Kampus, organisasi kedaerahan (Orda) sampai menyandang gelar aktivis mahasiswa. Kebetulan aku Ia merupakan seniorku di salah satu pergerakan mahasiswa.

Kini, rasanya tak ada kebahagian sekaligus semangat bergebu-gebu dalam mengarungi kehidupan yang pelik ini. Sederetan jargon sebagai penampung asfirasi masyarakat, pengubah tatanan sosial dan kaum terpelajar pula raib entah ditelan badai apa. Yang jelas Ia beranggapan segala sesuatu dapat terselesaikan dengan materi. Ketika kekayaan didapat maka serta merta kebahagiaan akan teraih pula. Haruskan, segala bentuk Idealisme kita tergadai, manakala kita tak punya modal? Entahlah.

Thus, Obrolan menjelang siang pun, mulai tak ramai, hingga satu persatu meninggalkan Kafe Filsafat. Terlebih lagi, saat salah satu pujaan hati kawanku datang dan menghampiri kami. `Tuh gera kaditu bisi di carekan ku pamajikan geura`. Semuanya terpesona atas kemolekan tubuh perempuan dan sirna dihadapan tumpukan bala-bala Alakadarna yang mulai tak hadir di sebilah piring. [Ibn Ghifarie]

Cag Rampes, Pojok Kedai Ushuluddien, 21/02;11.49 wib
×
Berita Terbaru Update