-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Suhuf (9)

Tuesday, March 25, 2008 | March 25, 2008 WIB Last Updated 2008-03-26T01:04:57Z
Maulid Nabi dan Toleransi Antarumat Beragama
Oleh Ibn Ghifarie

Pascatragedi pengeboman di menara kembar WTC (11 September 2001) Amerika Serikat wajah umat islam Indonesia berubah derastis menjadi buram, bengis, hingga sarang teroris.

Semula kita kenal pemeluk agama islam--yang mayoritas sangat toleran, terbuka, ragam dan menghargai pendapat orang lain atua kelompoknya yang beda pandangan. Hal ini tercermin dari semboyan Bhineka Tunggal Ika dan Ketuhan Yang Maha Esa (pancasila)

Kini, segala persoalan harus diselesaikan dengan kebudayaan barbar. Kebiasaan bom bunuh diri pun jadi trend yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Mengerikan bukan?

Betapa tidak, dalam kurun waktu 2000-2005 terdapat lebih dari sepuluh tragedi memilukan sekaligus geram atas perbuatan lalim tersebut. Lihat saja, datamya begitu pantastis. Penghujung tahun 2000; Bom Kedubes Filipina, Jakarta (1 Agustus), Bom Kedubes Malaysia, Jakarta (27 Agustus), Bom Gedung Bursa Efek Jakarta (13 September) Bom malam Natal (24 Desember), 2001; Bom Plaza Atrium Senen, Jakarta (23 September), Bom Restoran KFC, Makassar (12 Oktober), Bom sekolah Australia, Jakarta (6 November), 2002; Bom malam Tahun Baru (1 Januari), Bom Bali (12 Oktober) Bom Restoran McDonald's Makassar (5 Desember), 2003; Bom Kompleks Mabes Polri, Jakarta (3 Februari) Bom Bandara Cengkareng, Jakarta (27 April), Bom JW Marriott (5 Agustus), 2004; Bom cafe, Palopo (10 Januari), Bom Kedubes Australia (9 September), Bom Kedubes Indonesia, Paris (8 Oktober), Bom di Gereja Immanuel, Palu, Sulawesi Tengah (12 Desember),2005; Dua Bom meledak di Ambon (21 Maret), Bom Pamulang, Tangerang (8 Juni), Bom Bali (1 Oktober), Pemboman Palu (31 Desember) (www.wikipedia.org)

Maulin Nabi; Moment Evaluasi

Satu pertanyaan yang kita mesti ajukan sekaligus menjawabnya secara bersama-sama bagi umat islam. Benarkan Muhammad mengajarkan perbuatan keji tersebut? Adakah landasanya untuk tetap berbuat jahat terhadap agama, atau keyakinan oralng lain?

Sejatinya kehadiran Maulid Nabi yang jatuh pada 12 Rabiul Awal (Sunni) dan 17 Rabiul Awal (Syiah) kita jadikan sebagai moment evaluasi (muhasabah) secara bersama-sama. Pasalnya, Nabi Muhamad sangat menganjurkan perbuatan arif dan bijaksana.
Bukan hanya sekedar pergelaran rutinitas semata. Semisal menggelar Tablig Akbar, perlombaan; busana muslim, kaligrafi, azdan, makan (tumpeng). Tentunya, mengelurkan biaya yang tak begitu sedikit.

Kendati, asul-muasalnya kebiasaan merayakan Mauldd Nabi ini berasal dari Sultan Salahuddin Yusuf Al-Ayubi (1174-1193 Masehi). Konon, dipenghujung abad ke-11 Masehi, dunia Islam kewalahan menghadapi serangan negara-negara Eropa seperti Inggris, Perancis, dan Jerman dalam Perang Salib. Hingga pasukan Barat (1099) akhirnya dapat merebut Jerussalem sekaligus mengubah Masjidil Aqsa menjadi gereja. Sultan Salahuddin Yusuf Al-Ayubi yang berkuasa 1174-1193 Masehi (570-590 H) melihat kekalahan dunia Islam disebabkan oleh daya juang kaum Muslimin yang semakin melemah.

Maka, ditangan Salahuddinlah kelahiran Nabi Muhammad SAW menjadi momentum kebangkitan umat Islam. Pada mulanya, maulid Nabi diperingati di wilayah Suriah Utara untuk membangkitkan kembali semangat juang umat Islam. Ternyata, peringatan maulid ini berhasil membangkitkan gairah jihad, sehingga kemudian diperluas pelaksanaan peringatannya di seluruh kekuasaan Islam.

Salahuddin berasal dari Suku Kurdi. Semula Ia sempat mendapat tantangan dari para ulama dalam rangka peringatan maulid sebagai sesuatu yang bid'ah. Namun, ia meyakinkan pemuka agama, peringatan maulid bukanlah ritual peribadatan semata, melainkan spirit membangkitkan gairah dan semangat juang umat Islam. Sebagai Khadimul Haramain (Pelayan kota suci Mekah dan Madinah), Salahuddin bahkan selalu mengingatkan jemaah haji untuk merayakan maulid sesampainya di tanah air masing-masing. (Pikiran Rakyat, 30/03)

Belajar Toleransi
Mencermati kelahiran Muhammad sebagai pembawa risalah yang benar dengan cara santun dan sangat menghargai kearifan lokal. Bukan dengan cara keji, memaksa hingga menghilangkan nyawa orang lain.

Tengoklah satu peristiwa 'ajaib' ini, saat Rasul pergi ke Mesjid untuk melakukan ibadah shalat, di tengah-tengah perjalanan baginda selalu mendapatkan cacian, makian hingga ludahan dari seorang agama non islam. Kala para sahabat marah atas peristiwa biadab itu, Nabi malah berkata biarkanlah mungkin karena ia belum mengetahui ajaran islam.

Satu ketika Rasul dibutknya heran, karena sang peludah itu tak ada di tempat. Usut-punya usut ia sakit keras. Apa yang terjadi saat nabi mengatahui sang pengumpat sakit. Berangkatlah ia bersama sahabatnya untuk menengok orang sakit tersebut.
Walhasil, seorang non muslim itu masuk islam dan mengucapkan dua kalimat sahadat petanda memeluk agama islam.

Menyambut tahun 2008 sebagai tahun dialog antarumat beragama atau antarbudaya dengan modal sikap keterbukaan dan tolerans. Mestinya kita menyambut baik prakarsa Parlemen dan Dewan Uni Eropa di Brussels mendeklarasi tahun 2008 sebagai Tahun Dialog Antarbudaya (intercultural dialogue) untuk Benua Eropa.

Tidak tanggung-tanggung, kepada Komisi Kebudayaan yang dipimpin J'n Figel diberi budget 10 juta euro untuk kesuksesan Tahun Dialog Antarbudaya di benua malam Pasca-Pidato Regensburg Sri Paus Benediktus XVI bulan September 2006. (Kompas, 26 Februari 2008)

Dengan demikian, upaya mendialogkan antarbudaya, antaragama mari kita awali dari kalangan Islam yang tengah merayakan kelahiran Muhammad. Sikap keterbukaan, toleran dan menghargai orang lain menjadi modal utama dalam menciptakan persaudaraan yang damai dan pencitraan agama islam Indonesia yang ramah. Semoga.

*Penulis Pegiat Studi Agama-Agama dan Pemerhati Kebebasan Beragama
×
Berita Terbaru Update