-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Hikayat Sepeda dan Gaya Hidup di Tengah Covid-19

Monday, May 17, 2021 | May 17, 2021 WIB Last Updated 2021-05-27T03:20:45Z


GHIFARIE-Bila kita membaca tren bersepeda di tengah Covid-19, hasil data yang dihimpun Institute for Transportation & Development Policy (ITDP) menunjukkan jumlah pesepeda yang berlalu lintas di Jakarta meningkat hingga 1.000%.

Pasalnya, bersepeda di ruang terbuka menjadi gaya hidup pelepas penat selama periode pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Ini menjadi berkah tersendiri dalam memutus mata rantai penyebaran Covid-19 yang terus berusaha untuk menerapkan hidup sehat dan bersih sesuai protokol kesehatan.

ITDP merinci, setelah perkantoran diizinkan beroperasi kembali, dalam sehari jumlah pesepeda di kawasan bisnis Dukuh Atas naik, dari rata-rata 10 menjadi 235 pesepeda. Pada Minggu, (28/06/2020), sekitar 52.000 pesepeda diklaim melintasi 32 lokasi bebas kendaraan bermotor Jakarta.

Meskipun, peningkatan pengguna sepeda dibarengi dengan tingginya kecelakaan, data dari Bike to Work (B2W) mencatat sepanjang Januari hingga Juni 2020, terdapat 29 peristiwa kecelakaan lalu lintas yang melibatkan pesepeda. Akibat kecelakaan lalu lintas, 58 persen (17 pesepeda) meninggal dunia.  (BBC Indonesia, 5 Juli 2020 dan Detikoto, Selasa, 14 Juli 2020 10:18 WIB).

Pengayuh Kereta Angin

Dalam buku Melihat Indonesia dari Sepeda dijelaskan sepeda memang bukan sekedar alat transportasi melainkan juga penanda budaya yang bergerak. Pada masa awal kedatangannya di Nusantara sepeda menjadi medium modernisasi (pembaratan). Sepeda waktu itu diidentikkan dengan tunggangan para kyai dan kalangan terpandang secara ekonomi.

Denys Lombard, dalam buku Nusa Jawa: Silang Budaya, 1996, sepeda atau kereta angin, istilah waktu itu adalah salah satu simbol kemajuan (pembaratan), selain pakaian. Haji Muhammad, pengusaha kopra dari Banten yang pada 1910 mengelola perusahaannya secara Eropa. "Maka Haji Muhammad mengganti pakaiannya dengan pakaian orang Barat, yaitu berpantalon, bersepatu, berjas dan berkopiah Turki. Tidak pula lama antaranya ia membeli kereta angin, sehingga ia dapat mondar-mandir kian kemari dengan cepat dan mengurangi belanja," tulis Lombard mengutip naskah Kenangan-kenangan Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat, 1936.

Hingga tahun 1970-an, sepeda masih jadi primadona, "Misalnya di Yogyakarta, waktu itu sangat ramai bersepeda mulai dari mahasiswa, dosen, hingga butuh," kata Hendrie Adji Kusworo, peneliti Pusat Studi Pariwisata UGM.

Belanda adalah satu-satunya negara di Eropa, bahkan di dunia yang jumlah sepedanya lebih banyak dibandingkan jumlah warga. Rata-rata tiap satu orang di Belanda memiliki 1,11 sepeda dan jumlah penjualan sepeda juga sangat tinggi: 1,2 juta sepeda pada tahun 2005, untuk 16 juta penduduk.

Di beberapa negara, termasuk di Indonesia sepeda sering dilekatkan pada status sosial yang rendah: pesepeda adalah mereka yang tak mampu membeli mobil. Namun, ini tak berlaku di Belanda, dimana sepeda dipakai oleh semua kelas sosial. Di Belanda, bersepeda identik dengan sehat, ramah lingkungan dan bergaya.

Hingga tahun 1970-an, beberapa pemerintah Kota di Indonesia masih memungut pajak buat sepeda (peneng, plombir sebutan untuk di Jawa). Besaran peneng ini bervariasi, misalnya Pemerintah Kota Bandung memungut pajak sepeda  sebesar Rp 30 untuk setahun pada tahun 1969.

Sedangkan di Yogyakarta, besaran peneng pada tahun-tahun tersebut adalah RP 50 sepeda pertahun. Walaupun jumlah tersebut kini terasa sangat kecil, namun waktu itu dirasa cukup memberatkan. Seperti tergambar dalam berita Kompas, 12 Februari 1970, "Ribuan peladjar Kotamadya Jogjakarta tiap pagi mengalami kegelisahan jang memuntjak. Mereka seperti dikedjar2 'hantu' dan terpaksa memilih2 Jalan lalulintas jang 'aman' dari gangguan."

Para pesepeda di Yogyakarta itu kabur karena ada pemeriksaan peneng yang rutin digelar dan bagi yang belum bayar akan kena denda dua kali lipat. "Para RT dan RK dalam wilayah Kotamadya, melakukan tugas penagihan padjak sepeda dengan djalan mendatangi rumah2 penduduk. Otomatis djumlah sepeda2 tiap rumah terkontrol dan langsung dikarenakan biaja Rp 50 tiap sepeda." Secara tak langsung pemungutan padjka ini merupakan pengakuan sepeda sebagai moda transportasi. Penghilangan peneng justru menyebbakan sepeda seolah menjadi moda transportasi yang tak dianggap ada di djalan2 kota.

Dengan bersepeda kita bisa berkontribusi dalam meningkatkan kesehatan lingkungan karena bisa mengurangi kendaraan bermotor, yang selama ini menjadi sumber utama polusi udara dan suara. Ratusan juta warga dunia hidup di kawasan dengan tingkat pencemaran udara tinggi dan berpotensi mengalami kematian prematur, tercemar sakit kronis dan cacat permanen. (Ahmad Arif [Editor] 2010:15, 102, 112 dan 123)

Jejak Balap Sepeda

Dalam buku Soeka Doeka Di Djawa Tempo Doeloe terdapat permainan Balap Sepeda Cap pos tahun 1905 berjudul Raceplein Bandoeng (Lapangan balap Bandung) yang diterbitkan oleh J.C. Becker Bandung menguraikan kartu pos ini dikirim ke Prancis, negeri tempat olahraga sepeda sangat populer yang sejak 1903 sudah mengadakan Tour de France. Cetakan BRIEFKAART (artinya kartu surat) dicoret lalu ditulis Imprime yang berarti barang cetakan. Hal itu dilakukan karena surat yang dikirim tidak panjang, akibatnya biaya pengiriman lebih murah. Meski begitu nama Envoi (pengirim boleh dituliskan.

Pada lokasi prangko yang ditulis biasa, ditulis timbre cote vue yang berarti: perangko ditempel di sisi gambar Perangko dibubuhi cap dari kantor pos pemberangkatan BANDOENG 2-5-1905 dan sisi alamat diberi cap kantor pos transit WELTEVREDEN (kini Jakarta Pusat) dengan tanggal yang sama. Pengirimannya menuliskan suratnya dengan goresan pena yang sangat cantik.

Awal abad kedua puluh sepeda menjadi tren yang mewabah di seluruh dunia, termasuk Jawa. Kala itu lapangan-lapangan balap sepeda yang dalam bahasa Prancis disebut velodrome, dibangun di kota-kota besar seperti Semarang dan Surabaya. Di Bandung,  di lapangan pacuan kuda Tegalega, dengan latar belakang Gunung Tangkuban Perahu, kuda balap digantikan kuda besi.

Sekarang Tegalega telah berubah menjadi taman kota. Di foto ini lomba baru mau dimulai. Dilihat dari jumlah penonton, olahraga sepeda cukup populer dan sepertinya peserta lomba bersepedah  lambat-lambat agar mudah diabadikan oleh fotografer. Kecepatan rana kamera saat itu masih rendah sehingga belum memungkinkan menangkap objek yang bergerak terlalu cepat tanpa membuatnya tampak kabur. (Olivier Johannes Raap, 2013:140-141)  

Ingat sebagai gaya hidup, sepeda menjadi klenengan, ajang romantisme, mengingat kejayaan masa lalu, sarana pergaulan. Anggota komunitas bisa berkumpul pada hari-hari tertentu, memiliki jalur komunikasi via dunia maya. Mereka memastikan untuk bersepeda paling tidak satu hari dalam satu minggu. 

Bagi kelompok ini, sepeda bisa menjadi ajang sosialisasi lintas strata sekaligus berkumpulnya orang-orang yang memiliki kesamaan hobi. Karena sepeda menjadi gaya hidup, maka tak ayal jika  sepeda-sepeda anggotanya "sepeda keren" yang harganya bisa jadi lebih mahal daripada harga sepeda motor. (Hani Raihana, 2007:71-72)

Mudah-mudahan dengan maraknya penggunaan sepeda oleh warga Kota (pedesaan) harus menjadi momentum yang tepat untuk mengkampanyekan pentingnya alat transportasi ramah lingkungan, gaya hidup sehat di tengah pandemi Covid-19. 

Keikutsertaan semua komponen anak bangsa dalam peningkatan dan penambahan jumlah, mutu infrastruktur sepeda mesti kita dukung secara bersama-sama, sehingga segala aturan dan jaminan kenyamanan warga saat bersepeda di jalan raya dapat diwujudkan. Semoga.

Ibn Ghifarie, Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung

×
Berita Terbaru Update