-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Suhuf (11)

Friday, December 21, 2007 | December 21, 2007 WIB Last Updated 2008-01-30T20:22:59Z
HARI IBU: Saatnya Perempuan Angkat Pena
Oleh Ibn Ghifarie

APA YANG ANDA LAKUKAN MANAKALA HARI IBU ITU TIBA?

Aksikah, demokah, turun ke jalan sambil meneriakkan yel-yel ataukah diam seribu bahasa. Bila pertanyan itu dialamatkan padaku, maka aku tidak akan menjawabnya. Tapi akan bercerita perempuan. Pasalnya momen ini merupakan hari bersejarah bagi kaum hawa. Mereka berusaha ingin hidup lebih baik dalam bingkai kesetaraan dan keadilan. Meskipun dalam mewujudkan cita-cita itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, tapi memerlukan keuletan, ketabahan dan kesabaran.

Tengok saja, tindakan kriminalitas tentang kekerasan semakin marak di negeri beradab ini. Seperti pelecehan di rumah tangga, baik kekerasan anak terhadap orang tuanya, maupun sebaliknya. Bahkan yang lebih ironis lagi perbuatan keji itu dilakukan oleh ibu terhadap anaknya.

Kedengaranya aneh memang, seorang ummi yang notabene mempunyai hasrat naluri keibuan, lemah lembut, gemulai, sopan dan penyayang, tega-teganya melakukan tindakan kekerasan fisik ataupun fisikis terhadap buah hatinya.

Ambil contoh, Januari yang lalu di daerah Gunung Kidul, Jogjakarta dikejutkan oleh seorang Ibu bernama Ruhiem dan ketiga anaknya melakukan pembunuhan dengan cara mencampur racun tikus pada nasinya. Usut punya usut ternyata mereka sudah beberapa hari tidak makan. Menemukan lauk pauk apalagi. Tiba-tiba perempun setengah baya itu kilap dan pada akhirnya melakukan bunuh diri masal. Walaupun, keluarga tersebut tidak mati, karena dapat ditolong oleh tetangganya (Pikiran Rakyat, 31/01).

Peristiwa serupa pun terajdi di Cirebon dan Tanggerang. Pembakaran anak oleh Ibunya sendiri. Pasalnya perempuan kepala tiga itu, tidak tahan lagi dengan kebiasaan suaminya selalu mabuk-mabukan dan jarang memberikan nafkah hampir satu tahun. Sekoyong-koyong, entah kerasukan setan apa wanita itu, nekad melakukan perbuatan ngeri tersebut (Radar, 19/01).

Ironisnya, di tengah-tengah arus informasi mudah didapat dan menjamurnya gerakan feminis, perbuatan senada pun terjadi, bahkan lebih perih lagi. Seperti yang dialami oleh Siti Nur Azilah di Surabya belakangan ini. Lisa, sapaan akrabnya mendapatkan perilaku tidak wajar dari suaminya. Ia disiram air raksa ke wajahnya. Sampai-sampai Lisa harus melakukan operasi face off di Rumah Sakit (RS) DR Soetomo Surabaya. Lagi-lagi kemiskinan lebih akrab dengan perempuan akibat marzinalisasi.


Dominasi Tafsir Patriarkhi
Menilik persoalan tersebut, membuat kita mengerutkan kepala bila mencari jawaban. Apa yang melatarbelakangi modus tersebut? Tentu saja, perlakuan ganjil itu diakibatkan penafsiran ayat-ayat Tuhan yang kaku dan rigid. Seperti yang diutarakan oleh Rifat Hasan, bias tafsir itu terjadi mana kala; pertama, Penciptaan Hawa dari tulang rusuk adam. Kedua, Perempuan bertanggung jawab atas turunnya Adam dari surga. Ketiga, Tujuan diciptakanya Mojang untuk Jajaka.

Selain itu, kuatnya pengaruh ulama dalam menafsirkan ayat-ayat yang berpihak pada laik-laki. Semisal, Arijalu Qowwamuna Ala annisa (Anissa:34); laki-laki menjadi pemimpin di antara perempuan. Bermula dari pemaknaan itu, pada akhirnya kaum Hawa dinilai sebagai pelengkap bagi kaum Adam semata. Ditambah lagi, posisi pemuka agama lebih tinggi dari kedudukan presiden. Pendek kata, ulama sebagai pewaris utama para nabi.

Menanggapi kemalut yang akut dan pelik itu, Fazlu Rahman mengartikan surat Anissa:34 itu mesti dimaknai berkisar pada fungsional, bukan pada perbedan hakiki. Artinya bila perempun memiliki kemampuan dan kemaun dalam mengemban amanah itu, maka berikanlah, tegasnya.

Senada dengan Rahman, Aminah Wadud mengomentari permasalahan tersebut. Bagi Wanita kontroversi itu, selama yang bersangkutan tidak bertentangan dengan al-qur’an sah-sah saja. Apalagi bila kita melihatnya secara fungsional, tutur pakar studi agama-agama itu.

Lebih lanjut, Guru Besar asal Maroko itu, menegaskan penafsiran itu tidak dimaksudkan superioritas hanya melekat pada kaum Adam secara otomatis, sebab itu terjadi secara fungsinal semata. Selama perempuan mempunyai kemampuan dan kualitas, berilah kesempatan, katanya.

Akibat dari pemahaman dan mendarah daging di masyarakat. Kaum Nisa tidak boleh menjadi pemimpin dan hakim. Karena dianggap irasional, emosional dan tidak bisa menentukan keputusan. Hingga terdapat satu stereoty; kaum Adam membuat keputusan. Sementara kaum Hawa membuat kopi. Ujung-ujungnya kaum Banat mesti berkutat pada ranah kasur, sumur dan dapur.

Tak berhenti sampai di sini saja, kaum Hawa pun tidak boleh mendapatkan pendidikan yang tinggi. Seperti yang dilansir oleh Jurnal Perempuan (JP No 23, 2003) terhitung dari tahun 1980-1990 angka perempuan masuk ke lembaga pendidikan lebih kecil bila dibandingkan dengan laki-laki. Di tingkat SMA; 41,45%:58,57% dan diperguruan tinggi 33,60%:66,40%. Padahal mengeyam bangku sekolah investasi jangka panjang bagi masa depan nasib mojang kelak. Menjadi pentolan di panggung politik apalagi. Proses subordinat acap kali menimpa kaum banat. Seolah-olah perempuan tidak boleh berdikari di ruang publik, tapi domestik.


Maka Ambilah Pena
Mencermati kemiskinan wanoja, buah dari domestifikasi dan pembagian peran menurut jenis kelamin adalah pemandangan akrab bagi kita. Tidak ada cara lain selain bangkit dan angkat pena. Pasalnya, kuatnya ideologi patriarki dalam bingkai penafsiran. Mesti ada penafsiran berbasis feminis, yang ramah dan menyapa perbedaan. Coba tengok, adakah mufasir sekaligus pemikir perempuan? Kalaupun ada itu masih bisa dihitung dengan jari. Untuk bangsa Indonesia masih kecil bila dibandingkan dengan laki-laki. Paling tidak terdapat sederetan tokoh; Musdah Mulya, Ratna Mega Wangi, Gadis Arivia, Zakiyyah Darajat, Hopipah Indah Pawangsa, Dee dan Ayu Utami dll. Apalagi pada tataran Kampus UIN SGD Bandung. Seberapa banyak organisasi perempuan? Seberapa banyak pergelaran lomba karya tulis digelar? Berapa banyak penulis dari kalangan kaum hawa?

Dengan demikian, mengangkat pena menjadi penting, bahkan sangat erat kaitannya dengan peradaban. Sejumlah orang besar seperti Carlyle, Kant, Mina Bean, Hanna, Aminah Wadud, Rifat Hasan sangat percya dan meyakini penemuan tulisan benar-benar telah membentuk pearadaban.

Sangatlah wajar bila Fatima Mernisi dengan lantang menyuarakan kaum Nisa untuk menulis. Karena penafsir jumplang harus dilawan dengan penafsir lagi. Bahkan bagi penulis Teras Terlarang itu, goresan pena merupakan obat mujarab awet muda. Apalagi kebiasaan itu di lakukan setiap hari. Terutama setelah Sholat Subuh, tuturnya Lantas mesti mulai dari mana?

Tulislah apa yang dilihat, dialami, diraskan dan dipikirkan dalam bentuk coretan. Seperti yang diungkapkan oleh JK Rowling “mulailah dengan menuliskan hal-hal yang kau ketahui. Tulislah tentang pengalaman dan perasaanmu sendiri. Itulah yang saya rasakan,” ungkap penulis Hery Pother itu.

Tentu saja, hampir semua orang agaknya pernah melakukan curat-coret. Entah menarikan pena di atas tumpukan; pesan, memo, dan buku harian. Jadi ada pelbagai ragam cara menuangkan ide atau gagasan. Jika kita masih kesulitan memulai membikin apa tulisan yang bersifat luas dan dalam, maka kita bisa memulai latihan dengan cara membuat coretan yang ringan dan sederhana. Misalnya dimulai dengan membikin surat pembaca dan diary. Semisal yang pernah dilakukan oleh Soe Ho Gie lewat Catatan Seorang Demonstran dan Ahmad Wahib melalui Catatan Harian (Pergolakan Pemikir Islam).Pendek kata, mengangkat pena menjadi satu keharusan bagi kaum pelajar. Sebab tanpa itu semua harkat martabat kita akan dianggap rendah, bahkan lebih buruk dari binatang.

Untuk itu, sangatlah wajar apabila dalam dunia Antropolog (Belb, 1926;221-22) dan (Taringan, 1983;11) dikenal satu pameo; sebagaimana bahasa membedakan manusia dengan binatang. Begitu pula tulisan membedakan manusia beradab dari manusia biadab (as languange distinguish hes man from animal, so wraiting dis tinguister civilizen ma from barbarian). Thus, lengkingan pena hanya terdapat dalam peradaban.

Dalam ungkapan lain, buku adalah pengusung peradaban, tanpa buku sejarah menjadi sunyi, sastra bisu, ilmu pengetahuan lumpuh serta pikiran dan spekulasi mandek, begitulah Barbara Tuchmat berujar.

Lagi-lagi upaya merangkai kata dalam bingkai tulis. Terlebih dahulu simpan rasa ketakutan-ketakutan. Namun, “tulislah” ungkap Pramoedya Ananta Toer. “Semua harus ditulis. Apa pun jangan takut tidak dibaca atau diterima penerbit. Yang penting tulis, tulis, tulis dan tulis. Suatu saat pasti berguna,” tutur Pria mantan Lekra itu.

Dengan demikian, mudah-mudahan dengan diperingatinya Hari Kartini ini, kita dapat melanjutkan perjuangannya. Sampai-sampai RA Kartini menggoreskan pena kepada karibnya “Bila perempuan bisa membeli kebebasannya, mereka harus membayar sangat mahal. Mereka akan menghadapi kenestapaan.”; “Pergilah., bekerjalah untuk mewujudkan cita-citamu”; Suatu hari perempuan asal Jepara itu, menulis surat buat Ny. RM Abendono-Mandiri (12 Oktober 1902)

“Orang dapat merampas banyak dari kami, ya semuanya, tapi jangan pena saya! Ini tetap milik saya dan saya akan berlatih dengan rajin menggunakan senjata itu. Janganlah kami terlalu diusik, sebab kesabaran yang sesabar-sabarnya. Akhirnya juga akan habis juga. Oleh karena itu, kami akan menggunakan senjata itu. Walaupun kami sendiri akan terluka kerenanya. Aduhai! Tuhan, berilah kami kekuatan, kekuatan dan bantulah kami! Maafkan saya, cintailah anak-anakmu yang berkulit coklat ini.” Sudah siapkah kaum Banat merdeka? [Ibn Ghifarie]

Cag Rampes, Pojok Sekre Kere, 19/12/07;12.13 wib
×
Berita Terbaru Update